ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Senin, 25 Februari 2008

PESIMISME 2008

Saat ini kita sudah memasuki minggu kedua bulan Februari tahun 2008, negeri yang kita cintai ini masih banyak dirundung kemalangan. Berbagai pukulan yang kita terima pada tahun 2007 masih sangat membekas dan belum sembuh, akankah kita bangkit dengan perkasa tahun ini ? Tampaknya banyak orang akan menjawab : “ ....... tidak !!!! Lho, mengapa begitu .... ? memang banyak alasan untuk pesimis.
Kecenderungan harga bahan bakar minyak internasional, dampak bencana alam di dalam negeri dan Pemilu 2009 dapat dijadikan landasan berfikir untuk memprakirakan kondisi negeri ini di tahun 2008. Ketiga macam variabel sosial - ekonomi - politik di atas akan memiliki pengaruh yang besar, dan juga akan menimbulkan tekanan yang berat bagi perumusan kebijakan dan capaian kinerja kita tahun ini.
Kita semua mungkin tahu bahwa pada tahun 2007 yang lalu harga BBM dunia hampir menembus angka US$ 100 per barrel. Hal ini bukan tidak mungkin akan terjadi tahun ini. Seandainya hal ini benar-benar terjadi, tak pelak lagi kita harus merevisi secara besar-besaran APBN kita. Banyak rencana pembiayaan sektor pemerintah harus ditinjau ulang, termasuk dana yang dialokasikan ke daerah-daerah (Dekonsentrasi dan Medebewijnd). Kalau tidak, perekonomian kita akan semakin terpuruk, ingat harga BBM memiliki multiplier effect yang sangat kuat terhadap harga barang-barang lainnya.
Bencana alam yang menimpa negeri ini seperti tak pernah kunjung selesai. Ini menimbulkan kerugian yang besar, dan ini perlu biaya yang besar pula untuk memperbaikinya. Banjir yang melanda hampir di semua daerah pada awal 2008 , khususnya di pulau Jawa, menjadi “hantu” tersendiri bagi kita. Rusaknya infrastruktur pertanian dan kegagalan panen akan mengurangi produksi dan supply pangan dalam negeri. Ingat, sejarah mencatat harga pangan (khususnya beras) berpengaruh kuat terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan APBN.
Pesimisme terakhir, mungkinkah Kabinet Indonesia Bersatu akan tetap “Bersatu” pada tahun 2008. Banyak yang kuatir “kebersatuan” ini tidak lagi utuh, karena kabinet kita adalah kabinet pelangi yang menteri-menteri di dalamnya berasal dari berbagai kekuatan politik. Banyak orang berfikir bahwa untuk menghadapi Pemilu dan Pilpres 2009, persiapan harus sudah dilakukan sejak sekarang. Langkah-langkah yang dilakukan partai-partai untuk menghadapi Pemilu dan Pilpres bukan tidak mungkin akan mengganggu konsentrasi kerja kabinet. Fokus perhatian tidak lagi sepenuhnya tertuju pada peningkatan kinerja, tapi sudah terpecah oleh tujuan politik, yakni memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009.

Bengkulu, 11 Februari 2008.
(H. Musiardanis)

Jumat, 08 Februari 2008

ABRIKU SAYANG, ABRIKU MALANG

Pernah ada informasi bahwa di dalam sebuah buku berbahasa Belanda, yang diterbitkan hanya untuk kalangan militer pada masa Hindia Belanda, ditulis mengenai suku-suku bangsa Hindia Belanda yang memiliki bakat menjadi militer lebih daripada suku-suku bangsa lainnya. Menurut buku ini suku-suku berbakat militer adalah Batak dan Ambon untuk luar Pulau Jawa, sedangkan untuk Pulau Jawa mereka sebut dengan istilah DULANGMAS --- singkatan dari KEDU, MAGELANG dan BANYUMAS. Kolonial Belanda dulu memang getol melakukan penelitian-penelitian seperti ini, jangan lupa dengan Dr. Snouck Hurgronye yang melakukan penelitian tentang Aceh, yang kesemuanya untuk kepentingan dan kelanggengan penjajahan mereka terhadap Nusantara. Dengan melakukan penelitian-penelitian seperti ini, mereka dapat menentukan resep terbaik untuk melemahkan bangsa Indonesia, termasuk melakukan pembatasan-pembatasan bagi putera-putera Indonesia yang berkeinginan menjadi Konijnlike Nederlands Indie Legers (KNIL).
Kebijakan di bidang kemiliteran yang dijalankan oleh kolonial Belanda menyebabkan sangat sedikit putera-putera bangsa Indonesia yang faham tentang ilmu kemiliteran. Kondisi seperti ini berlangsung sampai pecahnya Perang Dunia Kedua dan masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942. Pada masa pendudukan Jepang kesempatan bagi putera-putera Indonesia untuk mencicipi pendidikan kemiliteran terbuka. Dibukanya kesempatan memasuki dinas militer oleh pemerintah pendudukan Jepang juga tidak terlepas dari kepentingan ekspansionisme Jepang dalam upaya memenangkan perang Asia Timur Raya --- yang dikemas dalam bungkus slogan “Asia untuk Asia”. Pada masa ini banyak putera bangsa Indonesia yang memasuki unit-unit militer Jepang yang dibentuk di daerah-daerah pendudukan, seperti : Heiho dan Peta di Jawa; Gyugun di Sumatera; Kaigun (AL), dan bagi para pemuda belia juga disediakan wadah yang disebut Seinendan dan Keibodan. Dalam satuan-satuan militer seperti ini para pemuda Indonesia diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan komandan, seperti : Shodanco dan Chudanco. Terlepas dari niat Jepang yang sebenarnya, kesempatan ini memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengenal ilmu-ilmu kemiliteran modern, yang menjadi bekal bagi terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika Jepang bertekuk lutut pada Sekutu dan kemerdekaan Indonesia di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia serentak bergerak menyusun berbagai perangkat kenegaraan dan pemerintahan yang diperlukan bagi satu bangsa yang merdeka --- termasuk membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), yang kemudian diubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Angkatan Perang Republik Indonesia yang dilahirkan oleh rakyat Indonesia pada masa itu dipelopori dan berintikan pemuda-pemuda Indonesia yang pernah tergabung atau pernah memperoleh pendidikan militer dari Belanda (KNIL) dan Jepang, antara lain tokoh-tokoh penting pada masa itu adalah AH. Nasution (dasar pendidikan militer Belanda) dan Soedirman (dasar pendidikan militer Jepang). Institusi pertama ABRI diberi nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), Panglima BKR yang pertama adalah Soeprijadi, pimpinan pemberontakan PETA pada peristiwa Blitar, dari nama ini sangat jelas bahwa ABRI dibentuk oleh rakyat dan bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan rakyat. Jabang bayi BKR ini segera berhadapan dengan tugas-tugas militer praktis ketika tentara Sekutu tiba di Indonesia dengan diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (Nica), aparat kolonial Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kita ingat pertempuran Surabaya, pertempuran 5 hari lima malam di Semarang dan Palembang, Bandung Lautan Api, Krawang-Bekasi dan banyak lagi yang lainnya. Semua pertempuran itu sangat banyak menelan korban jiwa dan harta rakyat, khususnya anggota BKR yang dengan persenjataan terbatas dan ketinggalan jaman harus berhadapan dengan unit-unit militer Sekutu dan Belanda yang sarat pengalaman tempur di Eropah dan Pasifik.
Perjalanan ABRI bukanlah perjalanan wisata, banyak tantangan dan hambatan yang harus dilalui. Nama institusi ABRI juga mengalami perubahan sejalan dengan perubahan kondisi, dimulai dari BKR dan kemudian berturut-turut menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) dan terakhir menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa konsesi yang dicapai oleh para politisi dengan “senjata diplomasinya” sering mengharuskan ABRI memberikan pengorbanan yang besar, misalnya perjanjian Renville yang mengharuskan ABRI hijrah dari kantong-kantongnya dan menyerahkan sebagian persenjataannya kepada pihak penengah yang notabene lebih berpihak kepada Belanda. Kita ingat juga hasil KMB di Den Haag yang menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengintegrasikan KNIL ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Padahal seluruh rakyat Indonesia sejak class=Section2>
Sumpah Pemuda 1928 --- termasuk ABRI --- bertekad hanya untuk satu Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan negara serikat, apalagi dalam KMB tersebut Belanda meng-klaim bahwa Indonesia merdeka pada 1949, bukan 1945. Berbagai hasil diplomasi ini menimbulkan benih-benih ketidakpuasan kalangan ABRI terhadap para politisi.
Dari sisi kesejahteraan para prajurit bangsa ini juga jauh dari memadai. Kita sekarang sering memperdebatkan masalah Upah Minimum Regional (UMR) tapi kita jarang mengetahui bahwa para prajurit BKR, TKR, TRI dan TNI pada awal kemerdekaan berjuang tanpa dibayar. Bahkan sampai pada tahun-tahun awal penyerahan kedaulatan (1949 sampai awal 1950-an) para anggota TNI belum menerima gaji, yang mereka terima hanya dalam bentuk uang saku (honor) yang sangat terbatas. Tidak aneh pada masa itu banyak anggota TNI yang berusaha memperoleh tambahan penghasilan dengan berdagang dan bertani, dan kita pada masa kini tidak berhak untuk menyalahkan hal itu. Sejarah dapat pula berceritera bahwa anggota TNI dengan segala “kemiskinannya” pada masa itu adalah idola dan kecintaan seluruh rakyat. Tidak usah terlalu sulit mencari bukti untuk statement ini, kita tentu pernah mendengar lagu populer pada tahun 1950-an yang berjudul “Kopral Djono” --- yang berceritera tentang kekaguman seorang gadis terhadap seorang Kopral TNI. Bayangkan, Kopral saja sudah demikian dikagumi apalagi seorang Kapten, Mayor, Kolonel atau yang lebih tinggi daripada itu.
Nasib TNI seperti tidak pernah dipedulikan oleh para politisi. Mereka hanya sibuk berdebat tidak habis-habisnya, yang nyata-nyatanya hanya berujung pada kepentingan partai masing-masing terhadap kekuasaan negara. Gonjang-ganjing dunia politik ternyata berdampak pula terhadap kondisi sosial ekonomi rakyat, yang akhirnya menyulut berbagai pemberontakan bersenjata, misalnya : DI/TII; PRRI/Permesta; peristiwa Kahar Muzzakar, pengkhianatan G-30-S/PKI dan sebagainya --- belum termasuk konfrontasi dengan negara-negara lain seperti : masalah Irian Barat dan Malaysia. Berbagai pemberontakan ini mau tidak mau mengharuskan ABRI sebagai Bhayangkari Negara untuk bertindak demi keamanan dan keselamatan negara dan rakyat. Hal ini berarti korban-korban di kalangan anggota ABRI kembali berguguran sebagai kesuma bangsa. Mungkin orang awam secara enteng berkomentar bahwa itu sudah sepatutnya bagi ABRI, itu sudah tanggungjawab mereka. Tapi pernahkan kita merenung, anggota ABRI itu juga sama dengan kita, terdiri dari darah, daging, jiwa dan air mata. Mereka juga punya rasa cinta, rasa sedih, ketakutan, kecemasan dan kegembiraan seperti yang dimiliki oleh setiap orang. Mereka juga punya keluarga yang menyayangi dan disayangi, dapatkah kita merasakan derita seorang isteri seorang prajurit ABRI yang gugur dalam usia muda, pernahkah kita berfikir untuk menyantuni anak seorang prajurit ABRI yang mengalami kesulitan membeli seragam sekolah dan membayar SPP karena sang ayah sudah tidak ada lagi ?
Ketidakpuasan kalangan ABRI terhadap dunia politik mendorong mereka untuk ikut memikirkan perkembangan politik bangsa, mereka tidak mau hanya sekedar menjadi “Petugas Pemadam Kebakaran”. Dari sini muncullah gagasan bahwa ABRI mempunyai dua peran yang harus dijalankannya, yaitu peran sebagai kekuatan Hankam dan peran sebagai kekuatan Sospol. Gagasan ini kemudian berkembang dan mengejawantah dalam bentuk Dwifungsi ABRI. Gagasan ini sebenarnya tidak keliru karena dari sejarah kelahirannya ABRI itu berasal dari rakyat, oleh sebab itu hak-hak dan kewajiban rakyat juga melekat pada ABRI. Sejak kelahirannya pula ABRI sudah mencanangkan Tujuh Jalan yang menuntun setiap prajurit untuk berperilaku dan bertindak, yaitu SAPTA MARGA. Pada marga pertama tegas dinyatakan bahwa : anggota ABRI adalah WARGANEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945. Jelas bahwa anggota ABRI juga warganegara NKRI sama seperti rakyat-rakyat Indonesia lainnya, dengan demikian berbagai hak dan kewajiban seorang warganegara seperti yang diatur oleh UUD 1945 juga berlaku bagi mereka. Apalagi kalau prajurit itu sudah memasuki purna tugas, dia kembali menjadi rakyat biasa.
Pada perkembangan selanjutnya Dwifungsi ABRI dipermasalahkan, bahkan pada era reformasi ini Dwifungsi ABRI dituntut agar dihapuskan. Hal ini didasarkan adanya dugaan bahwa Dwifungsi ABRI menyebabkan ABRI memiliki kekuatan sentral dalam kehidupan sosial politik di negeri ini. Banyak kalangan merasa gerah dengan posisi ABRI seperti itu. Tuntutan ini tidak berlebihan apabila dinyatakan secara arif tanpa sikap emosional yang diembel-embeli dengan tuntutan-tuntutan lain yang secara salah kaprah sering mengatas-namakan rakyat. Tuntutan-tuntutan yang didengungkan sekarang terasa kebablasan dan kurang peduli dengan HAM anggota ABRI sebagai manusia warganegara Republik Indonesia. ABRI cenderung dituntut untuk tidak punya apa-apa lagi, tidak boleh berpolitik, tidak boleh menjadi pimpinan lembaga-lembaga sipil --- meskipun mereka sudah pensiun dan berstatus kembali menjadi rakyat biasa --- jangan-jangan nanti akan ada pula tuntutan agar anggota pensiunan atau mantan anggota ABRI tidak boleh memiliki usaha lain kecuali menikmati hari tua dengan uang pensiun yang tidak lebih besar dari uang pensiun seorang PNS.
ABRI di era reformasi ini sebenarnya sudah aspiratif, mereka sudah mencoba sekuat tenaga untuk membenahi diri sejalan dengan tuntutan reformasi. Paradigma ABRI yang baru jelas menunjukkan upaya ABRI untuk kembali ke jatidirinya. Namun hal itu tampaknya bagi sebagian orang belum cukup, mereka masih menuntut agar ABRI kembali ke barak-barak militer yang pengap, sumpek dan sering bocor. Mereka secara tidak sadar ingin menciptakan ABRI yang jauh dari ibu kandungnya, rakyat. Mereka ingin menciptakan ABRI yang inferior minoritas eksklusif, yang hanya mampu melahirkan anak-anak kolong yang sering mengganggu kebun-kebun tetangga. Sungguh kita menjadi sangat prihatin, ABRI disanjung ketika kita perlu perlindungan di masa perang tapi kita pinggirkan mereka pada masa damai. ABRIKU SAYANG, .......... ABRIKU MALANG.

Bengkulu, 3 A p r i l 1999.

H. Musiar Danis