ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Jumat, 07 Maret 2008

HADIRIN DIMOHON BERDIRI !

Dalam kegiatan-kegiatan seremonial di negeri ini ada beberapa mata acara yang sudah menjadi tradisi. Dalam acara-acara resmi pemerintah, kegiatan-kegiatan tersebut a.l. berupa menyanyikan lagu kebangsaan, pembacaan teks Pancasila, mengheningkan cipta dan pemukulan gong atau alat lainnya sebagai tanda dimulainya suatu pekerjaan. Sedangkan dalam upacara resepsi perkawinan acaranya lebih sedikit. Suatu hal serupa yang lazim dilakukan, baik dalam acara pemerintah maupun resepsi perkawinan, adalah meminta hadirin untuk berdiri bila pejabat tertinggi atau sepasang mempelai memasuki ruangan.
Dalam aturan protokol resmi kenegaraan, penghormatan yang dilakukan dengan cara berdiri hanya diperuntukkan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Namun pada prakteknya hampir di setiap acara resmi sering dilakukan penghormatan berdiri untuk selain Presiden atau Wakil Presiden, misalnya untuk menteri atau Ketua suatu organisasi. Begitu pula penghormatan berdiri untuk sepasang mempelai. Penghormatan yang diberikan dengan cara berdiri kepada sepasang mempelai mungkin karena kedua mempelai dianggap “Raja dan Permaisuri” pada saat itu.
Dalam satu pengajian di masjid terbesar di kota Bengkulu, seorang ustadz pernah menceritakan satu kisah dalam hadits. Di situ dikisahkan dalam satu waktu Nabi Muhammad SAW sedang duduk berbincang-bincang dengan para sahabat dan dari kejauhan tampak iring-iringan orang mengantarkan jenazah. Ketika iringan jenazah itu mendekat, maka sang Nabi mengajak para sahabat untuk memberikan penghormatan dengan cara berdiri. Sang Nabi mengatakan kita harus menghormati jenazah siapa-pun yang lewat dengan cara berdiri, tidak perduli apakan itu jenazah Muslim, Nasrani atau Yahudi, karena jenazah itu adalah jenazah manusia.
Persoalannya sekarang, apakah cara kita memberikan penghormatan kepada seseorang atau sepasang mempelai dengan cara berdiri adalah cara yang benar ? Apakah cara ini bukannya memberikan penghormatan kepada yang masih hidup, tetapi sebaliknya menganggap seseorang atau sepasang mempelai itu sama dengan “jenazah” yang akan lewat ? Hal ini memang dapat dapat menjadi bahan perdebatan yang tidak akan kunjung selesai. Negara kita memang bukan negara Islam, negara kita ini negara kesatuan dengan ribuan warna kebudayaan yang melahirkan jutaan kearifan setempat (local genus). Penghormatan dengan berdiri mungkin saja bersumber dari budaya kita atau mungkin juga bersumber dari Eropa. Kita sangat lama dijajah oleh bangsa-bangsa dari seberang lautan itu, banyak sekali tradisi mereka masih kita lakukan sampai saat ini.


Bengkulu, 08 Juni 2006.

(H. Musiardanis)

MINYAK MANIS

Istilah minyak manis semakin hari semakin menghilang dari perbendaharaan bahasa masyarakat kita. Sekarang orang lebih merasa akrab dengan istilah minyak goreng. Minyak manis memang sama dengan minyak goreng, keduanya dipergunakan untuk memasak beraneka jenis masakan. Bagi kehidupan manusia minyak manis atau minyak goreng menempati posisi strategis, hampir seluruh umat manusia di dunia ini menggunakan minyak manis sebagai salah satu bahan dalam proses masak-memasak.
Meski minyak manis dan minyak goreng pada dasarnya adalah sama, namun dalam perspektif orang awam kedua barang itu memiliki perbedaan. Perbedaannya terletak pada jenis bahan baku dan proses pembuatannya. Minyak manis dibuat dari kelapa dengan teknologi sederhana dan dapat dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di mana-pun berada, sedangkan minyak goreng dibuat dengan bahan baku utama minyak sawit (CPO) yang menggunakan teknologi lebih tinggi dengan mata-rantai produksi yang lebih panjang.
Akhir-akhir ini harga minyak goreng dirasa semakin mahal dan pasokannya juga kurang mencukupi. Hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat yang jauh dari pusat-pusat perekonomian tempat berkumpulnya para suppliers, misalnya di pulau Enggano. Sungguh mengherankan, seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, negeri ini punya banyak sekali pohon kelapa. Semua musti masih ingat akan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang menggambarkan keindahan dan kekayaan negeri ini, dengan lambaian jutaan pohon-pohon nyiur-nya.
Negeri seperti milik kita ini sering menjadi obyek pembingungan internasional. Negara-negara adidaya sering membuat kita bingung dan keteteran. Dalam hal minyak manis, mereka menyatakan bahwa mereka tidak berminat membeli dari kita kalau itu terbuat dari buah kelapa. Mereka hanya bersedia kalau terbuat dari buah sawit atau jagung. Alasannya bisa bermacam-macam, yang paling menonjol adalah masalah kadar kolesterol yang tinggi dalam minyak kelapa.
Sungguh aneh alasan tentang kolesterol itu. Sejak zaman dulu nenek moyang kita mengkonsumsi minyak manis dari buah kelapa, toh kesehatan mereka sama dengan bangsa-bangsa lain, bahkan tidak sedikit yang berumur panjang. Yang pasti, teknologi dan industri derivasi buah sawit memang dipegang oleh negeri-negeri industri maju itu. Kita terpaksa menjual minyak sawit kepada mereka dan mengimpor sebagian produk jadi minyak sawit juga dari mereka. Dengan situasi seperti ini, kita selalu di pihak yang kalah.
Rakyat negeri yang kaya dengan lambaian pohon-pohon nyiur tidak seharusnya menderita dengan mahalnya harga minyak goreng. Manfaatkanlah buah-buah kelapa yang ada di pulau-pulau kita. Kembalilah kepada kekuatan kita sendiri, buat sendiri minyak manis dari buah kelapa, tak perlu tergantung pada pasokan minyak goreng. Hasil kebun sawit boleh kita jual kepada negeri-negeri maju, uangnya kita pergunakan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan lain.

Bengkulu, 21 Mei 2007.

(H. Musiardanis)

CALON TAK GAYUT

Membaca judul di atas mungkin ada orang yang bingung, bahkan mungkin ada yang berfikir bahwa saya menggunakan bahasa daerah. Dulu ada upaya dari para pakar bahasa Indonesia untuk mengindonesiakan sebanyak mungkin terma-terma sains, khususnya di bidang matematika dan statistika. Kebetulan salah seorang pakar itu berasal dari Bengkulu (Talo, Seluma), yakni Prof. DR. Amran Halim. Tak pelak lagi, banyak kosa kata bahasa Melayu lama dan bahasa Seraway ikut diambil, di antaranya kata ‘Gayut’ dan ‘Tak-Gayut’ yang menjadi padanan kata ‘Dependent’ dan ‘Independent’.
Dalam tulisan ini saya tidak akan berdiskusi tentang bahasa Indonesia, yang saya ingin bahas adalah persoalan calon independent (calon tak-gayut) yang berpeluang maju dalam pilkada melalui jalur independent (jalur tak-gayut). Persoalan “ke tak-gayutan” dalam pemilihan pemimpin ini sudah menjadi wacana sejak lama, mulai dari pemilihan presiden pada 2004 yang lalu sampai pilkada saat ini. Banyak orang merasa bahwa pencalonan harus melalui satu pintu, yaitu pintu Parpol, tidak demokratis dan menutup peluang bagi orang-orang potensial yang kebetulan non partisan dan kurang dikenal di kalangan politisi.
Pendapat di atas mungkin ada benarnya. Idealnya, parpol sudah menyiapkan orang-orangnya, baik yang benar-benar berasal dari partai sendiri atau orang non partisan, untuk dijadikan kandidat kepala daerah. Ambil contoh konvensi yang dilakukan oleh salah satu Parpol besar, seyogyanya parpol itu (minimum setahun sebelumnya) sudah melakukan inventarisasi dan penjaringan tokoh-tokoh yang dianggap pantas menjadi kandidat kepala daerah. Kemudian dilakukan penyaringan sesuai dengan kriteria partai dan meminta kesediaan para calon kandidat untuk ikut dalam konvensi partai. Bagi partai yang tidak melakukan konvensi bisa saja langsung menentukan kandidat terbaik yang sudah terseleksi secara ketat. Dengan cara ini, dapat diharapkan para calon kepala daerah yang diusung parpol benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni.
Persoalannya, parpol saat ini cenderung menunggu pinangan dan bukan meminang calon yang akan diusung. Kalau sudah begini faktor subyektivitas akan sulit dihindari dan jangan kaget apabila muncul para calon “di luar dugaan”. Oleh sebab itu, jalur tak-gayut menjadi penting. Siapa saja yang merasa memiliki kemampuan untuk menjadi kepala daerah tapi tidak punya “perahu”, dapat ikut dalam gebyar pemilihan kepala daerah.
Penyaringan terhadap mereka dilakukan oleh lembaga tak-gayut (misalnya KPU), dengan menggunakan berbagai kriteria dan tolok ukur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Apabila lembaga tak-gayut melakukan seleksi secara ketat dan benar, dan parpol-parpol tetap ngetem menunggu penumpang, jangan heran apabila kualitas para Calon Tak-Gayut akan selalu lebih baik ketimbang kualitas para Calon dari parpol-parpol (bahkan mungkin mereka akan selalu kalah !). Lahirnya Jalur Tak-Gayut diharapkan dapat menjaring sebanyak mungkin calon dengan kualitas standard. Parpol-parpol-pun harus segera berbenah diri dalam memilih calon yang akan diusung, agar tidak selalu menjadi pecundang.

Bengkulu, 30 Juli 2007.


(H. Musiardanis)

AMUBA

Ketika di SMA sekian puluh tahun yang lalu, saya memperoleh pelajaran Ilmu Hayat (sekarang disebut Biologi). Kalau tidak salah ingat, dalam pelajaran ini saya pernah diajarkan mengenai mahluk bersel tunggal yang disebut Amuba. Mahluk ini memiliki cara yang unik untuk berkembang biak. Mereka berkembang biak dengan cara membelah diri karena tidak memiliki alat kelamin, satu sel membelah menjadi dua atau lebih dan membentuk Amuba-Amuba baru. Dengan cara ini mereka mempertahankan kelangsungan hidupnya di alam yang tak pernah kenal kompromi. Bahkan tidak perlu digugat ke pengadilan, apabila mahluk-mahluk seperti ini dapat pula mengubah bentuk fisiknya agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang selalu berubah.
Kenangan masa SMA ini sering mendorong saya untuk berfikir dan mencoba mencari persamaan atau perbedaan antara masa lalu dan masa kini. Saya merasa heran dan takjub melihat adanya kesamaan perilaku Amuba dengan perilaku sebagian masyarakat kita masa kini. Amuba membelah diri untuk berkembang biak dan bertahan hidup, hanya itu cara yang dapat mereka lakukan, dan itu tidak aneh. Yang aneh, banyak kelompok masyarakat kita saat ini melakukan hal yang hampir sama, yakni membelah diri menjadi dua, tiga atau lebih sehingga terbentuklah berbagai kelompok baru yang lebih banyak dan berwarna-warni.
Saya tidak tahu persis apakah proses pembelahan diri ini bertujuan untuk menjadi lebih banyak agar mampu menjadi mayoritas, ataukah karena kelompok yang terdahulu sudah dianggap tidak sesuai lagi dan perlu adanya kelompok baru, ataukah kelompok-kelompok hasil pembelahan diri ini hanya menjadi "kendaraan" bagi para petinggi kelompok untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Alasan yang sebenarnya hanya diketahui oleh kelompok-kelompok itu sendiri. Kita sebagai orang di luar pagar hanya dapat menonton dan sesekali bertepuk tangan, apabila proses pembelahan berlangsung seru dan menarik.
Meski hanya menonton dan bertepuk tangan, alangkah baiknya apabila kita masih tetap punya harapan. Harapan itu tidak terlalu muluk, harapan itu adalah harapan kita semua. Kita berharap, hendaknya pembelahan diri ini jangan betul-betul meniru Amuba. Bila kita seratus persen meniru mereka, maka kita termasuk golongan mahluk yang masih primitif, dan masyarakat Madani yang kita celotehkan di setiap kesempatan hanyalah omong kosong. Apalagi kita juga mengetahui bahwa ada jenis-jenis Amuba yang menjadi biang penyakit, Amuba Disentri misalnya. Kalau ini kita tiru, bersiaplah kita semua untuk sakit perut dan tubuh kita menjadi lumpuh.


Bengkulu, 29 Oktober 2007.

(H. Musiardanis)

SEANDAINYA SAYA MENTERI

Dalam dunia praktisi jamak terjadi perbedaan antara teori dan praktek sehari-hari. Kata Wilson, Hegel dan Weber, birokrasi itu dimulai dari tingkat Dirjen ke bawah, sedangkan Presiden/Kepala Pemerintahan dan Kepala Daerah adalah politisi. Salah satu ciri Presiden dan Kepala Daerah sebagai politisi adalah mereka dipilih dan diangkat oleh lembaga perwakilan rakyat, yang benar-benar bersifat politis karena terbentuk dari satu proses pemilihan umum. Pada tingkat nasional, Presiden akan menunjuk dan mengangkat para pembantunya yang disebut Menteri. Para menteri ini bukan pejabat karir, meskipun terkadang ada juga yang berasal dari birokrasi, mereka dipilih oleh Presiden biasanya karena pertimbangan-pertimbangan kompetensi, profesionalisme dan kesamaan ideologi politik dengan sang Presiden. Oleh sebab itu, tidak perlu terheran-heran apabila kebanyakan Menteri itu berasal dari partai yang sama dengan Presiden. Latar belakang kehidupan para menteri beserta berbagai pertimbangan tadi dan proses pengangkatannya, yang mutlak menjadi hak Presiden, jelas memberikan status kepada para menteri sebagai politisi --- bukan birokrat, yang untuk sampai ke puncak karir harus melalui jenjang berliku-liku pada layout mesin birokrasi.
Status Presiden/Kepala Pemerintahan, Kepala Daerah dan Menteri sebagai politisi menyebabkan mereka juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan kebijakan partai politik dari mana mereka berasal, termasuk berkampanye dalam pemilihan umum. Kita terbiasa melihat tayangan televisi yang mempertontonkan Mahathir berkampanye untuk Barisan Nasional atau Margaret Thatcher untuk partainya dalam pemilu di negara mereka masing-masing, di sana terdapat kesesuaian antara teori dan praktek. Lain halnya di negeri kita, bak kata pepatah, lain padang lain pula belalangnya, maka di negeri tercinta ini para Menteri (seharusnya juga Presiden dan Kepala Daerah, kalau memang ingin begitu) dilarang berkampanye dalam Pemilu. Di negeri ini memang banyak terjadi kesenjangan antara teori dan politik karena segala sesuatu sering dipolitisir, sehingga batas-batas wilayah politik dan non politik menjadi kabur tidak karu-karuan. Tapi sudahlah, itu tandanya kita baru dalam tahap awal hidup berpolitik secara bebas dan mencoba berdemokrasi yang sebenarnya.
Seandainya saya seorang Menteri dan seandainya pula saya adalah Ketua salah satu partai politik yang akan ikut dalam pemilihan umum, saya tidak perlu uring-uringan dengan adanya perbedaan antara politik teoritis dengan realitas politik tersebut. Saya tidak perlu pula marah-marah karena tidak boleh berkampanye untuk partai saya, saya tidak akan menderita kerugian apa-apa dengan ketentuan itu. Saya akan tetap berkampanye untuk partai saya meskipun saya harus berhenti jadi Menteri. Berhenti sekarang atau nanti sama saja, toch masa jabatan saya tinggal beberapa bulan saja lagi. Kalau partai saya kalah dalam pemilu, kemungkinan saya kembali menjadi menteri sudah tertutup. Tapi apabila partai saya menang dalam pemilu (mungkin karena ada andil saya yang ikut berkampanye), jangankan jabatan menteri, jabatan sebagai Presiden-pun terbuka lebar bagi diri saya, ini adalah salah ciri demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara lain yang lebih maju kehidupan demokrasinya. Pendek kata, singkat cerita, boleh atau tidak boleh berkampanye tidak akan berarti apa-apa bagi saya, it will be nothing to loose dan que sera sera, tunggu saja tanggal mainnya di pentas politik Republik tercinta.

Bengkulu, 03 Maret 2008.

(H. Musiar Danis).

Sabtu, 01 Maret 2008

MEMILIH PEMIMPIN

Beberapa minggu yang lalu, dalam satu rapat koordinasi di Cimacan (Puncak), terjadi obrolan informal antar peserta rakor. Obrolan itu bukan memperbincangkan bahan-bahan yang dibahas dalam rakor, tapi memperbicangkan soal pemilihan pemimpin, mulai dari kades sampai ke presiden. Obrolan itu menjadi hangat karena memasuki wilayah bahasan yang luas tapi praktikal, mulai dari pendanaan hingga ke masalah tata-cara pemilihan.
Kata seorang teman, pada tahun ini akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan frekwensi yang sangat tinggi, yakni setiap tiga hari sekali, atau lebih kurang 120 kali dalam setahun. Pemilihan ini meliputi Pilgub dan Pilbup/Wakot. Bisa dibayangkan berapa jumlah dana, tenaga dan waktu yang harus dikeluarkan. Pengeluaran itu akan meliputi pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah, para kontestan dan para pemilih sendiri (opportunity costs).
Kata teman yang lain, itu adalah konsekwensi yang harus kita terima karena memilih pemimpin dengan menganut sistem demokrasi liberal, one man one vote. Dengan sistem ini kita harus mempraktekkan pemilihan secara langsung, setiap warganegara, yang telah memenuhi syarat, memiliki hak dalam menentukan dan memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Hal itu mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat oleh siapa-pun.
Kata teman yang lain, yang pernah membaca sejarah Islam zaman para Khalifah, pemilihan pemimpin dengan sistem demokrasi liberal yang diimpor dari Barat tampaknya kurang pas untuk negeri ini. Mungkin cara memilih zaman para khalifah akan lebih cocok diterapkan di negeri ini, tentu dengan beberapa modifikasi yang kreatif. Negeri ini memang bukan negara Islam, dan hal ini tampaknya tidak akan menjadi hambatan karena tidak akan mengganggu umat beragama lainnya.
Kata teman di atas tadi, pemilihan pemimpin di Indonesia sebaik dibagi-bagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat pertama, rakyat yang memiliki hak pilih, memilih secara langsung calon Kepala Desa dan Ketua RT mereka. Dari dulu sudah menjadi budaya bahwa Kades dan Ketua RT itu dipilih langsung oleh rakyatnya. Tingkat kedua, para Kades dan Ketua RT memilih secara langsung para calon Bupati atau Walikota. Di sini para Kades dan Ketua RT memiliki hak memilih para Bupati/Walikota sebagai wakil rakyat yang absyah (legitimate). Tingkat ketiga, para Bupati dan Walikota memilih secara langsung calon Presiden/Wapres sebagai wakil rakyat di daerah masing-masing.
Nah, dengan cara itu biaya, waktu dan tenaga untuk melakukan pemilihan pemimpin dapat ditekan serendah mungkin. Permasalahan sekarang bagaimana dengan pemilihan Gubernur/Wagub? Menurut teman yang sama, Gubernur sebaiknya tidak dipilih, tapi ditunjuk dan diangkat oleh presiden terpilih. Alasannya, gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat di daerah, sebaiknya tidak berstatus otonom. Kedudukan seorang gubernur seharusnya sama dengan para Menteri Kabinet. Sedangkan institusi Wagub bersifar “fakultatif”, bisa ada dan bisa juga tidak, tergantung kebutuhan karena tugas seorang Wagub adalah tugas-tugas yang bersifat internal.

Bengkulu, 25 Februari 2008.

(H. Musiardanis)

Senin, 25 Februari 2008

PESIMISME 2008

Saat ini kita sudah memasuki minggu kedua bulan Februari tahun 2008, negeri yang kita cintai ini masih banyak dirundung kemalangan. Berbagai pukulan yang kita terima pada tahun 2007 masih sangat membekas dan belum sembuh, akankah kita bangkit dengan perkasa tahun ini ? Tampaknya banyak orang akan menjawab : “ ....... tidak !!!! Lho, mengapa begitu .... ? memang banyak alasan untuk pesimis.
Kecenderungan harga bahan bakar minyak internasional, dampak bencana alam di dalam negeri dan Pemilu 2009 dapat dijadikan landasan berfikir untuk memprakirakan kondisi negeri ini di tahun 2008. Ketiga macam variabel sosial - ekonomi - politik di atas akan memiliki pengaruh yang besar, dan juga akan menimbulkan tekanan yang berat bagi perumusan kebijakan dan capaian kinerja kita tahun ini.
Kita semua mungkin tahu bahwa pada tahun 2007 yang lalu harga BBM dunia hampir menembus angka US$ 100 per barrel. Hal ini bukan tidak mungkin akan terjadi tahun ini. Seandainya hal ini benar-benar terjadi, tak pelak lagi kita harus merevisi secara besar-besaran APBN kita. Banyak rencana pembiayaan sektor pemerintah harus ditinjau ulang, termasuk dana yang dialokasikan ke daerah-daerah (Dekonsentrasi dan Medebewijnd). Kalau tidak, perekonomian kita akan semakin terpuruk, ingat harga BBM memiliki multiplier effect yang sangat kuat terhadap harga barang-barang lainnya.
Bencana alam yang menimpa negeri ini seperti tak pernah kunjung selesai. Ini menimbulkan kerugian yang besar, dan ini perlu biaya yang besar pula untuk memperbaikinya. Banjir yang melanda hampir di semua daerah pada awal 2008 , khususnya di pulau Jawa, menjadi “hantu” tersendiri bagi kita. Rusaknya infrastruktur pertanian dan kegagalan panen akan mengurangi produksi dan supply pangan dalam negeri. Ingat, sejarah mencatat harga pangan (khususnya beras) berpengaruh kuat terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan APBN.
Pesimisme terakhir, mungkinkah Kabinet Indonesia Bersatu akan tetap “Bersatu” pada tahun 2008. Banyak yang kuatir “kebersatuan” ini tidak lagi utuh, karena kabinet kita adalah kabinet pelangi yang menteri-menteri di dalamnya berasal dari berbagai kekuatan politik. Banyak orang berfikir bahwa untuk menghadapi Pemilu dan Pilpres 2009, persiapan harus sudah dilakukan sejak sekarang. Langkah-langkah yang dilakukan partai-partai untuk menghadapi Pemilu dan Pilpres bukan tidak mungkin akan mengganggu konsentrasi kerja kabinet. Fokus perhatian tidak lagi sepenuhnya tertuju pada peningkatan kinerja, tapi sudah terpecah oleh tujuan politik, yakni memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009.

Bengkulu, 11 Februari 2008.
(H. Musiardanis)

Jumat, 08 Februari 2008

ABRIKU SAYANG, ABRIKU MALANG

Pernah ada informasi bahwa di dalam sebuah buku berbahasa Belanda, yang diterbitkan hanya untuk kalangan militer pada masa Hindia Belanda, ditulis mengenai suku-suku bangsa Hindia Belanda yang memiliki bakat menjadi militer lebih daripada suku-suku bangsa lainnya. Menurut buku ini suku-suku berbakat militer adalah Batak dan Ambon untuk luar Pulau Jawa, sedangkan untuk Pulau Jawa mereka sebut dengan istilah DULANGMAS --- singkatan dari KEDU, MAGELANG dan BANYUMAS. Kolonial Belanda dulu memang getol melakukan penelitian-penelitian seperti ini, jangan lupa dengan Dr. Snouck Hurgronye yang melakukan penelitian tentang Aceh, yang kesemuanya untuk kepentingan dan kelanggengan penjajahan mereka terhadap Nusantara. Dengan melakukan penelitian-penelitian seperti ini, mereka dapat menentukan resep terbaik untuk melemahkan bangsa Indonesia, termasuk melakukan pembatasan-pembatasan bagi putera-putera Indonesia yang berkeinginan menjadi Konijnlike Nederlands Indie Legers (KNIL).
Kebijakan di bidang kemiliteran yang dijalankan oleh kolonial Belanda menyebabkan sangat sedikit putera-putera bangsa Indonesia yang faham tentang ilmu kemiliteran. Kondisi seperti ini berlangsung sampai pecahnya Perang Dunia Kedua dan masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942. Pada masa pendudukan Jepang kesempatan bagi putera-putera Indonesia untuk mencicipi pendidikan kemiliteran terbuka. Dibukanya kesempatan memasuki dinas militer oleh pemerintah pendudukan Jepang juga tidak terlepas dari kepentingan ekspansionisme Jepang dalam upaya memenangkan perang Asia Timur Raya --- yang dikemas dalam bungkus slogan “Asia untuk Asia”. Pada masa ini banyak putera bangsa Indonesia yang memasuki unit-unit militer Jepang yang dibentuk di daerah-daerah pendudukan, seperti : Heiho dan Peta di Jawa; Gyugun di Sumatera; Kaigun (AL), dan bagi para pemuda belia juga disediakan wadah yang disebut Seinendan dan Keibodan. Dalam satuan-satuan militer seperti ini para pemuda Indonesia diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan komandan, seperti : Shodanco dan Chudanco. Terlepas dari niat Jepang yang sebenarnya, kesempatan ini memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengenal ilmu-ilmu kemiliteran modern, yang menjadi bekal bagi terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika Jepang bertekuk lutut pada Sekutu dan kemerdekaan Indonesia di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia serentak bergerak menyusun berbagai perangkat kenegaraan dan pemerintahan yang diperlukan bagi satu bangsa yang merdeka --- termasuk membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), yang kemudian diubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Angkatan Perang Republik Indonesia yang dilahirkan oleh rakyat Indonesia pada masa itu dipelopori dan berintikan pemuda-pemuda Indonesia yang pernah tergabung atau pernah memperoleh pendidikan militer dari Belanda (KNIL) dan Jepang, antara lain tokoh-tokoh penting pada masa itu adalah AH. Nasution (dasar pendidikan militer Belanda) dan Soedirman (dasar pendidikan militer Jepang). Institusi pertama ABRI diberi nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), Panglima BKR yang pertama adalah Soeprijadi, pimpinan pemberontakan PETA pada peristiwa Blitar, dari nama ini sangat jelas bahwa ABRI dibentuk oleh rakyat dan bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan rakyat. Jabang bayi BKR ini segera berhadapan dengan tugas-tugas militer praktis ketika tentara Sekutu tiba di Indonesia dengan diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (Nica), aparat kolonial Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kita ingat pertempuran Surabaya, pertempuran 5 hari lima malam di Semarang dan Palembang, Bandung Lautan Api, Krawang-Bekasi dan banyak lagi yang lainnya. Semua pertempuran itu sangat banyak menelan korban jiwa dan harta rakyat, khususnya anggota BKR yang dengan persenjataan terbatas dan ketinggalan jaman harus berhadapan dengan unit-unit militer Sekutu dan Belanda yang sarat pengalaman tempur di Eropah dan Pasifik.
Perjalanan ABRI bukanlah perjalanan wisata, banyak tantangan dan hambatan yang harus dilalui. Nama institusi ABRI juga mengalami perubahan sejalan dengan perubahan kondisi, dimulai dari BKR dan kemudian berturut-turut menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) dan terakhir menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa konsesi yang dicapai oleh para politisi dengan “senjata diplomasinya” sering mengharuskan ABRI memberikan pengorbanan yang besar, misalnya perjanjian Renville yang mengharuskan ABRI hijrah dari kantong-kantongnya dan menyerahkan sebagian persenjataannya kepada pihak penengah yang notabene lebih berpihak kepada Belanda. Kita ingat juga hasil KMB di Den Haag yang menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengintegrasikan KNIL ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Padahal seluruh rakyat Indonesia sejak class=Section2>
Sumpah Pemuda 1928 --- termasuk ABRI --- bertekad hanya untuk satu Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan negara serikat, apalagi dalam KMB tersebut Belanda meng-klaim bahwa Indonesia merdeka pada 1949, bukan 1945. Berbagai hasil diplomasi ini menimbulkan benih-benih ketidakpuasan kalangan ABRI terhadap para politisi.
Dari sisi kesejahteraan para prajurit bangsa ini juga jauh dari memadai. Kita sekarang sering memperdebatkan masalah Upah Minimum Regional (UMR) tapi kita jarang mengetahui bahwa para prajurit BKR, TKR, TRI dan TNI pada awal kemerdekaan berjuang tanpa dibayar. Bahkan sampai pada tahun-tahun awal penyerahan kedaulatan (1949 sampai awal 1950-an) para anggota TNI belum menerima gaji, yang mereka terima hanya dalam bentuk uang saku (honor) yang sangat terbatas. Tidak aneh pada masa itu banyak anggota TNI yang berusaha memperoleh tambahan penghasilan dengan berdagang dan bertani, dan kita pada masa kini tidak berhak untuk menyalahkan hal itu. Sejarah dapat pula berceritera bahwa anggota TNI dengan segala “kemiskinannya” pada masa itu adalah idola dan kecintaan seluruh rakyat. Tidak usah terlalu sulit mencari bukti untuk statement ini, kita tentu pernah mendengar lagu populer pada tahun 1950-an yang berjudul “Kopral Djono” --- yang berceritera tentang kekaguman seorang gadis terhadap seorang Kopral TNI. Bayangkan, Kopral saja sudah demikian dikagumi apalagi seorang Kapten, Mayor, Kolonel atau yang lebih tinggi daripada itu.
Nasib TNI seperti tidak pernah dipedulikan oleh para politisi. Mereka hanya sibuk berdebat tidak habis-habisnya, yang nyata-nyatanya hanya berujung pada kepentingan partai masing-masing terhadap kekuasaan negara. Gonjang-ganjing dunia politik ternyata berdampak pula terhadap kondisi sosial ekonomi rakyat, yang akhirnya menyulut berbagai pemberontakan bersenjata, misalnya : DI/TII; PRRI/Permesta; peristiwa Kahar Muzzakar, pengkhianatan G-30-S/PKI dan sebagainya --- belum termasuk konfrontasi dengan negara-negara lain seperti : masalah Irian Barat dan Malaysia. Berbagai pemberontakan ini mau tidak mau mengharuskan ABRI sebagai Bhayangkari Negara untuk bertindak demi keamanan dan keselamatan negara dan rakyat. Hal ini berarti korban-korban di kalangan anggota ABRI kembali berguguran sebagai kesuma bangsa. Mungkin orang awam secara enteng berkomentar bahwa itu sudah sepatutnya bagi ABRI, itu sudah tanggungjawab mereka. Tapi pernahkan kita merenung, anggota ABRI itu juga sama dengan kita, terdiri dari darah, daging, jiwa dan air mata. Mereka juga punya rasa cinta, rasa sedih, ketakutan, kecemasan dan kegembiraan seperti yang dimiliki oleh setiap orang. Mereka juga punya keluarga yang menyayangi dan disayangi, dapatkah kita merasakan derita seorang isteri seorang prajurit ABRI yang gugur dalam usia muda, pernahkah kita berfikir untuk menyantuni anak seorang prajurit ABRI yang mengalami kesulitan membeli seragam sekolah dan membayar SPP karena sang ayah sudah tidak ada lagi ?
Ketidakpuasan kalangan ABRI terhadap dunia politik mendorong mereka untuk ikut memikirkan perkembangan politik bangsa, mereka tidak mau hanya sekedar menjadi “Petugas Pemadam Kebakaran”. Dari sini muncullah gagasan bahwa ABRI mempunyai dua peran yang harus dijalankannya, yaitu peran sebagai kekuatan Hankam dan peran sebagai kekuatan Sospol. Gagasan ini kemudian berkembang dan mengejawantah dalam bentuk Dwifungsi ABRI. Gagasan ini sebenarnya tidak keliru karena dari sejarah kelahirannya ABRI itu berasal dari rakyat, oleh sebab itu hak-hak dan kewajiban rakyat juga melekat pada ABRI. Sejak kelahirannya pula ABRI sudah mencanangkan Tujuh Jalan yang menuntun setiap prajurit untuk berperilaku dan bertindak, yaitu SAPTA MARGA. Pada marga pertama tegas dinyatakan bahwa : anggota ABRI adalah WARGANEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945. Jelas bahwa anggota ABRI juga warganegara NKRI sama seperti rakyat-rakyat Indonesia lainnya, dengan demikian berbagai hak dan kewajiban seorang warganegara seperti yang diatur oleh UUD 1945 juga berlaku bagi mereka. Apalagi kalau prajurit itu sudah memasuki purna tugas, dia kembali menjadi rakyat biasa.
Pada perkembangan selanjutnya Dwifungsi ABRI dipermasalahkan, bahkan pada era reformasi ini Dwifungsi ABRI dituntut agar dihapuskan. Hal ini didasarkan adanya dugaan bahwa Dwifungsi ABRI menyebabkan ABRI memiliki kekuatan sentral dalam kehidupan sosial politik di negeri ini. Banyak kalangan merasa gerah dengan posisi ABRI seperti itu. Tuntutan ini tidak berlebihan apabila dinyatakan secara arif tanpa sikap emosional yang diembel-embeli dengan tuntutan-tuntutan lain yang secara salah kaprah sering mengatas-namakan rakyat. Tuntutan-tuntutan yang didengungkan sekarang terasa kebablasan dan kurang peduli dengan HAM anggota ABRI sebagai manusia warganegara Republik Indonesia. ABRI cenderung dituntut untuk tidak punya apa-apa lagi, tidak boleh berpolitik, tidak boleh menjadi pimpinan lembaga-lembaga sipil --- meskipun mereka sudah pensiun dan berstatus kembali menjadi rakyat biasa --- jangan-jangan nanti akan ada pula tuntutan agar anggota pensiunan atau mantan anggota ABRI tidak boleh memiliki usaha lain kecuali menikmati hari tua dengan uang pensiun yang tidak lebih besar dari uang pensiun seorang PNS.
ABRI di era reformasi ini sebenarnya sudah aspiratif, mereka sudah mencoba sekuat tenaga untuk membenahi diri sejalan dengan tuntutan reformasi. Paradigma ABRI yang baru jelas menunjukkan upaya ABRI untuk kembali ke jatidirinya. Namun hal itu tampaknya bagi sebagian orang belum cukup, mereka masih menuntut agar ABRI kembali ke barak-barak militer yang pengap, sumpek dan sering bocor. Mereka secara tidak sadar ingin menciptakan ABRI yang jauh dari ibu kandungnya, rakyat. Mereka ingin menciptakan ABRI yang inferior minoritas eksklusif, yang hanya mampu melahirkan anak-anak kolong yang sering mengganggu kebun-kebun tetangga. Sungguh kita menjadi sangat prihatin, ABRI disanjung ketika kita perlu perlindungan di masa perang tapi kita pinggirkan mereka pada masa damai. ABRIKU SAYANG, .......... ABRIKU MALANG.

Bengkulu, 3 A p r i l 1999.

H. Musiar Danis

Minggu, 20 Januari 2008

CATATAN SEJARAH HUBUNGAN ANTARA PROPINSI BENGKULU DAN INGGERIS (1685 - 1825)

Hubungan yang terjalin antara rakyat Propinsi Bengkulu dengan Inggeris sudah berjalan sejak lama, yakni sejak abad ke 17. Pada tahun 1682 Kompeni Belanda (VOC) mampu mengungguli the Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah.
Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan faktori dagang di Aceh, namun keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh kekuatiran terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada Bengkulu, ada dua versi catatan sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan pilihan ini, yakni :

1. Menurut buku "Bencoolen : A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 – 1825)", yang ditulis oleh Alan Harfield (1995), perubahan ini disebabkan adanya surat permintaan dari para penguasa di Bengkulu yang mereka terima dua hari menjelang keberangkatan utusan EIC (Ord dan Cawley) dari Madras menuju Pariaman.

2. Menurut buku "Bengkulu dalam Sejarah", yang ditulis oleh Firdaus Burhan (1988), perubahan ini disebabkan oleh kesalahan navigasi dalam pelayaran dari Madras menuju Pariaman dan adanya permintaan dari para penguasa Bengkulu setelah utusan EIC tersebut mendarat di Bengkulu.

Terlepas dari adanya perbedaan di atas, sejarah mencatat bahwa Inggeris (EIC) pada akhirnya bercokol di Bengkulu dan rakyat Bengkulu menerima kehadiran mereka. Setibanya mereka di Bengkulu pada tahun 1685, pihak Inggeris disambut oleh petinggi Bengkulu pada masa itu, yakni Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak Inggeris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggeris di Bengkulu adalah Fort York. Sejak saat itu Inggeris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra).
Kehadiran Inggeris di Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggeris meninggalkan Bengkulu. Berakhirnya kehadiran Inggeris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggeris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggeris disebut "the Anglo-Dutch Treaty of 1824", sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai "Traktat London". Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggeris di Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan Melaka).

PEMBANGUNAN FORT MARLBOROUGH

Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah semakin rapuh dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggeris sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat menunaikan tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712 Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut "Carrang" (orang Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Collet terletak lebih kurang dua mil dari Fort York. Usul Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714.
Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggeris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim (1704), Rammilies (1706), Oudenarde (1708) dan Malplaquet (1709). Atas jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar "Duke of Marlborough". Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian dikenal dengan nama "Fort Marlborough". Pembangunan Fort Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.

PEMAKAMAN INGGERIS DAN MONUMEN THOMAS PARR

Selama 140 tahun berada di Bengkulu, orang-orang Inggeris banyak yang meninggal dunia. Kematian orang-orang Inggeris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit, umumnya malaria dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat Bengkulu. Orang-orang Inggeris yang meninggal di Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak 709 orang. Apabila diambil angka rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggeris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari orang-orang Inggeris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggeris di Jitra, Bengkulu.
Di Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bangsa Inggeris dalam zaman kompeni dulu. Monumen ini disebut oleh orang-orang Bengkulu dengan istilah "Kuburan Bulek (kuburan Bulat)". Nama sebenarnya dari Kuburan Bulek ini adalah Monumen Parr (Parr Monument). Monumen ini dibuat oleh Inggeris untuk mengenang pengalaman pahit bangsa Inggeris karena di tempat itu dikuburkan Residen Inggeris Thomas Parr, bersama-sama dengan seorang asistennya, yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat Bengkulu pada malam tanggal 27 Desember 1807. Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat Bengkulu terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh penguasa Inggeris. Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasehat darai para Kepala Adat rakyat Bengkulu.

BUNGA RAFFLESIA ARNOLDI

Sir Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Bengkulu pada tahun 1818. Dia tiba di Bengkulu pada bulan Maret 1818 didampingi oleh isterinya Lady Sophia Raffles dan seorang Kepala Adat Jawa Raden Rana Dipura. Dalam perjalanan dari Inggeris ke Bengkulu, Lady Sophia Raffles melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Charlotte Sophia Tanjung Segara Raffles. Ketika Raffles tiba di Bengkulu dia menemukan Bengkulu yang luluh lantak akibat gempa bumi, oleh karena itu kota Bengkulu disebut dengan istilah "Tanah Mati". Namun setelah itu, Raffles bersama-sama dengan rakyat Bengkulu membangun dan membangkitkan kembali Kota Bengkulu dari puing-puing Tanah Mati.
Gubernur Raffles bertugas di Bengkulu selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1818 sampai tahun 1824. Selama bertugas di Bengkulu Raffles banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman. Dalam salah satu perjalanannya, Raffles dengan didampingi isteri dan Dr. Arnold (pakar Botani), singgah di Desa Pulau Lebar, Lubuk Tapi (Bengkulu Selatan). Di desa inilah Raffles menemukan bunga yang berukuran sangat besar dan indah. Penduduk setempat menamakan bunga ini Petimun Sikinlili Atau Sirih Hantu. Bunga tersebut kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldy, diambil dari nama Raffles dan Dr. Arnold. Bunga Rafflesia Arnoldi saat ini sudah menjadi simbol Propinsi Bengkulu yang dikenal dengan nama "Bumi Rafflesia". Bunga Rafflesia pada masa kini masih sering ditemukan di Kawasan Hutan Lindung Rejang Lebong dan Desa Talang Tais di Kecamatan Kaur Utara (Bengkulu Selatan).

Bengkulu, 28 Juni 2000.

(H. Musiardanis)

Disarikan dari :

1. Buku "Bengkulu dalam Sejarah", oleh Firdaus Burhan (1988)
2. Buku "Bencoolen : A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 - 1825), oleh Alan Harfield (1995).
3. Ensiklopedi Indonesia Buku 6 (1983).

Sabtu, 05 Januari 2008

PARIWISATA : PRIORITAS PENUH TANTANGAN


Di dalam bahasa Inggeris kepariwisataan disebut dengan istilah “Tourism”, yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “berbagai ikhwal yang berhubungan dengan perjalanan untuk mendapatkan suatu kepuasan”. Arti kata “tour” agak sedikit berbeda dengan kata “traveling” meskipun secara fisik memiliki bentuk aktivitas yang sama yaitu pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Perbedaan keduanya terletak pada tujuan yang ingin dicapai, “tour” lebih banyak bertujuan untuk memperoleh kepuasan atau kesenangan, sedangkan “traveling” bertujuan untuk menyelesaikan suatu tugas atau kepentingan --- yang belum tentu berkaitan dengan faktor kepuasan atau kesenangan.
Sesuai dengan arti harfiahnya, kata “tourism” dapat diterjemahkan menjadi “pelancongan” dan kata tourist dapat kita terjemahkan sebagai “pelancong”. Dalam bahasa Melayu, yang merupakan induk bahasa Indonesia, melancong mempunyai arti bepergian untuk bersenang-senang. Dalam pergaulan sehari-hari sering pula kata melancong dicampur-adukkan dengan kata “pelesir”, walaupun sebenarnya kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda. Kata pelesir, yang kita ambil dari bahasa Belanda, berarti kesenangan atau kenikmatan (pleasure dalam bahasa Inggeris). Pelesir atau menikmati sesuatu tidak harus dengan melakukan perjalanan, kenikmatan atau kesenangan dapat saja diperoleh di rumah atau di tempat tinggal kita sendiri, di sinilah perbedaannya dengan kata “melancong”. Dalam bahasa Indonesia dewasa ini kata pelancongan sudah jarang terdengar dan telah digantikan dengan pariwisata dan kata melancong diganti dengan kata berwisata.
Pariwisata telah berkembang menjadi suatu industri, pariwisata merupakan salah satu subsektor dari bidang perekonomian. Pengembangan industri pariwisata ditujukan untuk memberikan kontribusi dalam pembentukan pendapatan nasional, regional atau masyarakat Dengan istilah lain, dunia pariwisata diharapkan mampu ikut mendorong pertumbuhan ekonomi --- baik secara nasional maupun regional/provinsial.
Asumsi dasar pengembangan kepariwisataan adalah kebutuhan manusia akan kenikmatan, kesenangan dan kenyamanan. Seseorang akan rela membelanjakan uangnya untuk membeli kenikmatan, kesenangan dan kenyamanan. Kebutuhan akan rasa senang, nikmat dan nyaman akan mendorong seseorang untuk berpergian ke tempat lain, apabila di tempatnya sendiri tidak diperolehnya. Sehingga asumsi selanjutnya adalah seseorang yang melakukan pelancongan pasti memiliki atau membawa uang agar dapat berangkat dan “membeli” segala sesuatu di tempat tujuan agar kebutuhannya terpuaskan. Dari sini kita dapat memperoleh gambaran mengenai konsep “barang/jasa” yang dapat diperjual-belikan dalam dunia kepariwisataan.
Barang/jasa yang diperjual-belikan dalam industri pariwisata dapat beragam bentuknya --- baik yang dapat diraba (tangible) maupun yang tidak dapat diraba (intangible), bahkan adapula yang hanya dapat dirasakan (sensible) seperti keheningan, kedamaian dan sinar matahari. Secara umum, barang/jasa kepariwisataan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, antara lain : alam (nature); pemandangan (scenery); seni dan budaya (art and culture); peninggalan sejarah/situs, dan hiburan (entertainment)
Menilik konsep-konsep teoritik kepariwisataan tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa Propinsi Bengkulu memiliki potensi kepariwisataan yang cukup besar dan cukup layak untuk dikembangkan. Hampir keseluruhan dari obyek wisata yang disebutkan di atas dimiliki oleh Propinsi Bengkulu. Secara garis besar, potensi pariwisata Propinsi Bengkulu yang dapat dikembangkan antara lain meliputi obyek-obyek : wisata alam; wisata seni-budaya; wisata sejarah dan situs purbakala, serta wisata hiburan dan rekreasi.
Penempatan subsektor pariwisata sebagai salah satu prioritas pembangunan sungguh merupakan suatu kebijakan yang berani dan berwawasan jauh ke depan. Kondisi geografis Propinsi Bengkulu yang unik secara pasti akan membatasi upaya pengembangan sektor pertanian yang “lapar lahan”. Di pihak lain, dalam waktu singkat pertumbuhan jumlah penduduk tidak mungkin ditekan menjadi 0%, oleh karenanya di masa depan sektor pertanian akan menjadi sangat intensif dan sebagian penduduk akan beralih mencari nafkah pada sektor-sektor ekonomi lainnya. Salah satu subsektor ekonomi alternatif yang dapat mereka masuki adalah subsektor pariwisata.
Paralel dengan surutnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, pengembangan subsektor pariwisata juga membutuhkan jangka waktu yang tidak pendek. Adalah tidak adil apabila kita menuntut pariwisata Propinsi Bengkulu harus mampu menyamai Bali atau Yogyakarta hanya dalam waktu satu Pelita. Pembangunan kepariwisataan paling tidak membutuhkan empat kelompok kegiatan pembangunan, yakni : pengembangan obyek-obyek wisata potensial; pembangunan prasarana fisik penunjang; promosi, dan pengembangan fasilitas pelayanan.
Perkembangan situasi ekonomi dan politik secara nasional dan regional akan berpengaruh langsung terhadap kegiatan pembangunan suatu daerah, termasuk pembangunan kepariwisataan. Instabilitas ekonomi dan politik yang pernah dihadapi Indonesia dapat membuktikan pendapat tersebut, misalnya masalah keterbatasan dana dan dicabutnya Indonesia sebagai salah satu Negara Tujuan Wisata secara internasional. Sebagai bagian dari Indonesia, Propinsi Bengkulu juga merasakan dampak negatif instabilitas ini dan pembangunan subsektor pariwisata Propinsi Bengkulu ikut mengalami perlambatan. Pembangunan kepariwisataan Propinsi Bengkulu ke depan akan menemui banyak hambatan, masalah dan tantangan. Pariwisata Propinsi Bengkulu adalah subsektor prioritas yang penuh dengan tantangan.
Hambatan, masalah dan tantangan yang akan dihadapi dalam pembangunan kepariwisataan Propinsi Bengkulu cukup banyak dan variatif. Secara praktis permasalahan dan tantangan yang segera dihadapi antara lain adalah : dana pembangunan yang terbatas secara relatif; kualitas sumberdaya manusia yang belum memadai; frekwensi jasa transportasi (terutama penerbangan) yang masih terbatas, dan prasarana fisik penunjang obyek-obyek wisata alam yang belum terbangun secara penuh. Dari keempat bentuk masalah ini saja akan timbul masalah-masalah lain secara berantai, misalnya promosi menjadi tidak efektif apabila barang yang dipromosikan belum siap, calon wisatawan membatalkan kunjungannya apabila penerbangan terus mengalami penundaan (delay) atau tidak pas dengan jadwal kunjungan yang telah mereka rencanakan, dan wisatawan kecewa apabila berbagai fasilitas pelayanan yang mereka butuhkan ternyata kurang tersedia.
Tantangan harus dihadapi dan masalah harus dipecahkan, membangun subsektor kepariwisataan di Propinsi Bengkulu membutuhkan kerja keras dan konsep-konsep pembangunan dengan orientasi baru. Untuk selanjutnya, kebijakan dan kegiatan pembangunan kepariwisataan di daerah harus bertumpu pada peran swasta dan masyarakat. Sedangkan sektor pemerintah mempunyai kewajiban untuk menciptakan iklim pembangunan yang favorable dan kondusif bagi sektor swasta dan masyarakat dalam memainkan peran mereka itu
Pada tahap awal, pemerintah berkewajiban untuk melakukan inventarisasi obyek-obyek wisata yang layak dikembangkan dan membangun berbagai prasarana fisik yang dibutuhkan. Selanjutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan penentuan berbagai “entrepoints wisatawan” yang potensial, misalnya : pengembangan wisata Bukit Kaba dan Hutan Lindung dengan entrepoint Kota Lubuk Linggau untuk wisata di Rejang Lebong/Lebong/Kepahyang; pengembangan Air Terjun Sembilan Tingkat, Pusat Latihan Gajah dan TNKS dengan entrepoint di perbatasan Propinsi Sumbar untuk Muko-Muko dan Bengkulu Utara; pengembangan kawasan wisata Linau, Merpas dan TNBBS dengan entrepoint di Lampung Barat untuk Kaur dan Bengkulu Selatan; serta pengembangan wisata Pantai Panjang dan obyek-obyek sejarah dengan entrepoint di Kota Bengkulu yang dapat pula berfungsi sebagai entrepoint bagi Seluma dan kabupaten-kabupaten lainnya.
Setelah itu, ditentukan pula entrepoint atau kawasan mana yang menjadi prioritas. Untuk penentuan prioritas ini kembali berbagai faktor perlu dipertimbangkan, dan dari sini pandangan serta saran-saran dari sektor swasta dan masyarakat mutlak menjadi pertimbangan utama karena merekalah yang selanjutnya akan mengembangkan berbagai fasilitas pelayanan yang dibutuhkan (hotel, restoran, travel biro, pramuwisata, taman dan sebagainya), prinsip-prinsip kelayakan bisnis dan kelayakan sosial serta kelayakan lingkungan menjadi tolok-ukur keberhasilan yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Apabila skala prioritas telah ditetapkan, tugas utama sektor pemerintah adalah membangun prasarana fisik dan pelayanan penunjang (jalan, jembatan, keamanan dan kesehatan) dan membantu kegiatan promosi. Pariwisata boleh menjadi prioritas penuh tantangan, namun dengan kerjasama yang saling menguntungkan antara sektor pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat tantangan dan masalah akan menjadi lebih ringan.


Bengkulu, 30 Desember 1998.

(H. Musiardanis)

T S U N A M I


Saya bukan ahli geologi, apalagi gempa dan Tsunami, dan saya juga bukan orang yang sangat faham tentang agama. Namun dalam kesempatan ini saya ingin mengajak berdiskusi tentang bencana gempa dan Tsunami. Mungkin dengan cara ini, bencana yang kita takuti itu dapat kita hadapi dengan lebih tenang. Seperti beberapa waktu yang lalu Mendiknas pernah berkata bahwa bencana kolosal telah berkali-kali terjadi dalam sejarah umat manusia. Ada yang benar-benar melumatkan satu kaum, tapi ada pula yang batal datang karena umat berdosa itu segera bertobat.
Sejarah memang bisa bercerita banyak dan kisah-kisah itu dapat kita jadikan pelajaran. Sejarah yang lebih singkat tentang bencana gempa di Provinsi Bengkulu dapat pula kita jadikan cermin. Menurut para ahli, Provinsi Bengkulu memang salah satu daerah rawan gempa, tidak aneh bila gempa merupakan tamu tetap rakyat di daerah ini. Menurut sejarah, pada tahun 1818, seminggu sebelum kedatangan Sir Stamfford Raffles, Bengkulu diguncang gempa yang amat dahsyat. Hampir seluruh kota rata dengan tanah, sampai-sampai sang Gubernur Jenderal menamakan Bengkulu sebagai Kota Mati. Namun tidak ada catatan tentang adanya Tsunami !
Ribuan gempa pernah terjadi setelah itu, dalam peristiwa-peristiwa gempa besar yang pernah terjadi, misalnya : letusan Krakatau; gempa tahun 1979; gempa tahun 2000, dan yang terakhir gempa tahun 2007, semuanya tidak ada yang menimbulkan gelombang Tsunami ! mengapa ? Setelah bencana Tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu, kita pernah diberi ceramah oleh para ahli gempa dan tsunami. Mereka dengan sangat jelas mengatakan bahwa Bengkulu memang rawan gempa, tapi potensi gelombang Tsunami boleh dikatakan sangat kecil.
Kata mereka, Bengkulu terlindung oleh topografinya yang bergelombang dan lautnya yang terjal dan dalam. Sebagian besar pantai Bengkulu tidak landai, jarak antara pantai dan daerah pegunungan relatif sangat dekat. Selain itu, hampir seluruh pantai Bengkulu berbatu karang. Semuanya adalah benteng alam yang melindungi Bengkulu dari Tsunami. Lebih jauh lagi, para ahli itu menyatakan bahwa pohon cemara yang tumbuh subur di sepanjang pantai Bengkulu merupakan benteng terakhir yang dapat melindungi Bengkulu dari terjangan Tsunami. Dari semua penjelasan ini, mengapa kita mesti terlalu takut dengan Tsunami ? Kita memang perlu waspada, yang lebih penting kita harus tetap menjaga kelestarian alam kita agar dapat menjadi rumah yang aman untuk tempat tinggal kita.

Bengkulu, 22 Desember 2007.

(H. Musiardanis)

Jumat, 04 Januari 2008

FESTIVAL TABOT DI BENGKULU


Pada tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram (Kalendar Arab) setiap tahun di kota Bengkulu dilaksanakan Festival Tabot. Festival Tabot diselenggarakan berdasarkan Pesta Budaya Tabot yang dilaksanakan oleh masyarakat Kota Bengkulu dalam rangka memperingati gugurnya Amir Hussain, cucu Nabi Muhammad SAW, di Padang Karbala (Irak). Perayaan ini telah diselenggarakan secara tetap oleh masyarakat kota Bengkulu sejak abad 14. Masyarakat kota Bengkulu percaya bahwa apabila perayaan ini tidak mereka selenggarakan maka akan terjadi musibah atau bencana. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila perayaan Tabot ini penuh dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual dan kolosal.
Sejak tahun 1990 Pesta Budaya Tabot ditingkatkan menjadi Festival Wisata di Propinsi Bengkulu, yang diberi nama Festival Tabot. Dalam Festival Tabot, perayaan yang semula hanya berisikan upacara-upacara ritual diperkaya dengan berbagai atraksi tambahan yang mampu memberi hiburan kepada masyarakat dan wisatawan. Selama 10 hari pelaksanaan Festival Tabot, masyarakat dan wisatawan dapat menyaksikan rangkaian upacara ritual Tabot dan menikmati berbagai pegelaran seni-budaya serta lomba-lomba kreasi seni tradisional Bengkulu, seperti : lomba Ikan-Ikan, lomba Telong-Telong, lomba Dol, lomba tari, dan sebagainya.

SEJARAH PESTA BUDAYA TABOT

Tabot berasal dari kata At-Tabut yang secara harfiah memiliki arti kotak atau peti. At-Tabut sudah ada sejak zaman Nabi Musa dan Harun, pada waktu itu At-Tabut dibawa turun ke bumi oleh malaikat. Menurut kepercayaan Bani Israel, At-Tabut ini adalah sebuah peti atau kotak tempat menyimpan jenazah pemimpin mereka. Mereka meyakini bahwa At-Tabut harus tetap berada di tangan mereka karena hal ini akan mendatangkan kebaikan. Sebaliknya musibah akan datang apabila At-abut tidak berada di tangan mereka.
At-Tabut dalam bentuk yang lain muncul pada waktu terjadi perang antara Amir Hussain (cucu Nabi Muhammad SAW) melawan kaum Khawarij di Padang Karbala (Irak). Dalam pertempuran di Karbala Amir Hussain dan pengikutnya mengalami kekalahan karena jumlah yang tidak seimbang. Amir Hussain sendiri gugur dengan tangan dan kepala yang terpisah dari badan. Ketika tubuh Amir Hussain yang sudah tidak berkepala dan bertangan itu diketemukan kembali oleh para pengikutnya, maka turunlah bangunan aneh yang sangat indah dan mengangkat tubuh Amir Hussain. Para pengikut Amir Hussain yang sangat menyayangi pemimpin mereka ikut bergelantungan pada bangunan indah yang terbang itu, dan pada saat itu terdengar suara yang berkata : "Kalau kamu sayang kepada Hussain, buatlah bangunan berbentuk indah ini setiap sepuluh hari dalam bulan Muharram guna mengenang para syuhada yang gugur di Padang Karbala". Bangunan indah yang membawa jenazah Hussain itu kemudian disebut Tabut (Tabot dalam dialek bahasa Bengkulu). Sejak saat itu perayaan Tabut dilaksanakan setiap tahun selama 10 hari dalam bulan Muharram oleh para pengikut Imam Hussain.
Upacara Ritual Tabot sampai di Bengkulu dibawa oleh para penyebar agama Islam dari Punjab. Para penyebar agama Islam dari Punjab yang datang ke Bengkulu pada waktu itu adalah para pelaut ulung di bawah pimpinan Imam Maulana Irsyad. Rombongan Imam Maulana Irsyad yang datang ke Bengkulu berjumlah 13 orang, antara lain terdapat : Imam Sobari, Imam Bahar, Imam Suandari dan Imam Syahbuddin. Mereka tiba di Bengkulu pada tahun 1336 Masehi (756/757 Hijriah). Setibanya di Bengkulu kaum Syiah penyayang Amir Hussain ini langsung melaksanakan rangkaian Upacara Ritual Tabot yang diselenggarakan selama 10 hari, yakni dari akhir bulan Dzulhijjah 756 H sampai dengan tanggal 10 Muharram 757 H. Nama Imam Maulana Irsyad dan kawan-kawan ini kurang dikenal dalam sejarah, hal ini mungkin mereka pada waktu itu belum menetap secara tetap di Bengkulu. Nama yang lebih dikenal dalam sejarah Tabot di Bengkulu adalah Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo). Syekh Burhanuddin hidup di Bengkulu pada masa Inggeris sudah masuk ke Bengkulu, yakni antara tahun 1685 sampai dengan 1825.

RANGKAIAN UPACARA RITUAL BUDAYA TABOT

1. UPACARA MENGAMBIK TANAH (PENGAMBILAN TANAH).

Upacara Pengambilan Tanah dilaksanakan pada malam hari sebelum tanggal 01 Muharram, sekitar pukul 20.00 WIB (setelah shalat Isya). Upacara Pengambilan Tanah dilakukan di dua tempat, yaitu di Pantai Nala dan Tapak Paderi. Upacara ini diartikan sebagai peringatan atau mengenang kembali manusia yang pada awalnya diciptakan dari tanah dan nantinya akan kembali menjadi tanah. Upacara ini dilengkapi sesajen berupa bubur merah, gula merah, sirih tujuh subang, rokok tujuh batang, air kopi pahit, air serobat (air jahe), air susu sapi murni, air cendana dan air selasih. Sesudah sesajen didoakan, diambil tanah dua kepal, sekepal diletakkan di Gerga (di ibaratkan benteng) dan sekepal lainnya dibawa pulang untuk diletakkan diatas Tabot yang akan dibuat.

2. UPACARA DUDUK PENJA.

Upacara Sakral Duduk Penja dilaksanakan selam dua hari, yakni pada tanggal 4 dan 5 Muharram pada pukul 16.00 WIB. ini dilakukan pada tanggal 5 Muharram. Penja adalah Pending Jari-Jari yang berbentuk jari-jari tangan yang terbuat dari tembaga serta disimpan diatas rumah sekurang-kurangnya selama satu tahun. Didahului dengan berdoa, Penja diturunkan untuk di cuci, dilengkapi sesajen berupa emping, air serobat, susu murni, air kopi pahit, nasi kebuli, pisang emas dan tebu. Setelah dicuci, keluarga pembuat tabot langsung mengantarkan Penja yang dibungkus ke gerganya, dengan diiringi bunyi dol dan tassa, untuk disimpan kembali selama upacara perayaan tabot.

3. UPACARA MENJARA.

Upacara Menjara dilaksanakan malam hari tanggal 5 dan 6 Muharram mulai pukul 19.30 WIB. Menjara berarti "perjalanan panjang di malam hari", upacara ini dimaksudkan untuk melakukan silahturakhmi atau konsolidasi. Pada malam pertama (tanggal 5 Muharram) kelompok Bangsal mengunjungi kelompok Imam dan pada malam kedua (tanggal 6 Muharram) kelompok Imam mengunjungi kelompok Bangsal dengan perlengkapan Dol dan Tassa. Dalam perjalanan perlengkapan musik Dol dan Tassa akan melagukan lagu Semi Tsauri pada saat berjalan dan lagu-lagu Tsauri, Melalu dan Tamatam pada tempat-tempat berhenti.

4. MALAM ARAK JARI-JARI DAN ARAK SEROBAN

Upacara Arak Jari-Jari dilakukan pada tanggal 7 Muharram pukul 19.30 malam. Malam Arak Jari-Jari dilaksanakan dengan menempatkan Penja yang sudah didudukkan di atas Tabot Coki, kemudian diarak untuk berkumpul di tanah lapang. Sedangkan persiapan upacara Arak Seroban diselenggarakan pada tanggal 8 Muharram pukul 16.00 WIB (setelah shalat Ashar), yakni mempersiapkan Seroban untuk diarak bersam-sama Penja (Jari-Jari) pada malam harinya. Upacara ini di ibaratkan sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa jari-jari tangan dan sorban Amir Hussain telah ditemukan di Padang Karbala.

5. HARI GAM

Hari GAM berlangsung pada tanggal 9 Muharram, dimulai pada pukul 06.00 WIB. Hari GAM berarti tidak boleh ada bunyi-bunyian sama sekali sampai Tabot Naik Pangkek.

6. TABOT NAIK PANGKEK.

Pada pukul 14.00 WIB sesudah shalat Dhuhur tanggal 9 Muharram dilakukan acara Tabot Naik Pangkek. Tabot Naik Pangkek adalah kegiatan menyambungkan bangunan puncak Tabot dengan bangunan bagian Tabot Gedang di tempat pembuatannya.

7. MALAM ARAK GEDANG.

Pada tanggal 9 Muharram pukul 16.00 Tabot dibawa ke Gerga untuk Soja dan Penja dinaikkan ke atas Tabot sebelum diarak menuju tanah lapang untuk bersanding. Pada pukul 19.00 malam harinya Tabot sudah bersanding di tanah lapang, prosesi ini disebut Malam Arak Gedang.

8. ARAK-ARAKAN TABOT TERBUANG.

Pagi hari pukul 08.00 WIB tanggal 10 Muharram Tabot kembali diarak untuk bersanding di tanah lapang. Setelah itu Tabot diarak menuju Kerabela (sebutan orang Bengkulu untuk Karballa). Sebelum diarak, seluruh Tabot menyembah terlebih dahulu kepada Tabot Imam dan Tabot Bangsal.
Juru Kunci menyambut arak-arakan Tabot di pintu gerbang Kerabela. Sebelum masuk dilakukan upacara untuk meluruskan mana yang bengkok, memberitahu mana yang keliru dan memperbaiki mana yang salah. Setelah itu arak-arakan Tabot menuju kompleks pemakaman Kerabela, dan di sini dilaksanakan upacara penyerahan Tabot kepada leluhur di makam Syahbedan Abdullah (ayahanda Syech Burhanuddin).

Bengkulu, 11 Januari 2001.

(H. MUSIARDANIS)

TENGGELAMNYA PULAU JAWA

Ketika masih di sekolah menengah, saya pernah membaca sebuah karya monumental Buya Hamka, berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Judul karya sastra itu mengilhami saya untuk menulis tentang pulau Jawa yang sedang dirundung bencana. Mulai dari gempa Yogya, lumpur Porong dan yang terakhir banjir Jakarta (maaf, jangan dibaca Bandar Jakarta). Bencana itu kata orang adalah bencana alam, saya kurang sependapat, menurut saya bencana itu adalah bencana anak manusia. Alam adalah tempat hidup kita, alam adalah rumah kita, dan kita sendiri yang merusak tempat berlindung ini.
Kata ahli geologi, beberapa juta tahun yang lalu Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa dan Kalimantan adalah satu. Banjir semesta sebagai akibat perubahan suhu bumi mengakibatkan ke-empat wilayah itu terpisah-pisah menjadi pulau-pulau. Beberapa juta tahun kemudian, setelah anak cucu Adam dan Hawa semakin berkembang biak, sebagian mereka yang berasal dari Asia Muka berimigrasi ke selatan, menempati pulau Sumatera, Jawa , Kalimantan dan lainnya. Sebagian besar mereka menetap di pulau Jawa, karena pulau itu relatif lebih subur dan alamnya lebih baik untuk kehidupan (lebih subur, relatif datar dan tidak berawa-rawa). Tidak usah heran apabila jumlah penduduk di pulau Jawa jauh lebih padat ketimbang Sumatera dan Kalimantan, sejak awal mereka memang lebih banyak.
Sejak dulu manusia memang tidak memiliki banyak pilihan, hidup mereka banyak tergantung pada kemurahan hati alam. Pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan beban alam untuk memberi kehidupan semakin berat. Di pulau Jawa, sumber kehidupan dasar semakin terbatas, lahan-lahan pertanian dan kawasan-kawasan yang seharusnya dilindungi telah berubah fungsi menjadi pemukiman, pabrik-pabrik dan tumpukan sampah. Alam merintih, menangis dan akhirnya berteriak marah, bencana-pun datang silih berganti. Sebagian kawasan di Pulau Jawa semakin rendah dari permukaan laut. Pulau Jawa hampir tenggelam.
Bencana Jawa harus menyadarkan kita, alam-pun bisa marah kalau dizolimi. Kita di Bengkulu lebih beruntung, kita masih kaya dengan kawasan lindung. Secara ekonomis kondisi ini mungkin kurang menguntungkan. Kita perlu mencari jalan terbaik agar kehidupan kita dapat terus berlanjut, tanpa harus berlaku zolim terhadap alam. Memelihara alam mungkin akan menjadi amal jariah, merusak alam akan menghasilkan dosa berkepanjangan. Kita patut bersedih dan prihatin dengan nasib pulau Jawa. Kita patut berdo’a agar seratus tahun yang akan datang, anak-anak sekolah menengah tidak pernah kenal dengan karya sastra yang berjudul “Tenggelamnya Pulau Jawa”.

Bengkulu, 08 Februari 2007.
(H. Musiardanis)

BENCANA KITA


Sejak tahun 2004 Republik ini dirundung bencana berkepanjangan, mulai dari yang ringan sampai yang menelan korban dalam jumlah besar. Kita tidak bisa lupa musibah Adam Air di Medan, tsunami di Aceh, gempa di Nias, kecelakaan kereta api, sampah longsor di Bandung, gempa di Sulawesi dan yang paling anyar gempa di Yogyakarta., Innalillahi wa Innailaihi roji’un. Kata orang Barat, alam sedang marah. Kata orang kita, Tuhan menegur kita.
Rangkaian bencana ini mengundang berbagai komentar, mulai dari yang serius sampai yang setengah bercanda. Dalam berbagai obrolan informal saya mendengar orang-orang berkata bahwa bencana ini disebabkan karena bawaan presiden kita (SBY) memang panas, lho kok bisa ? Apa hubungannya sosok seorang pemimpin dengan bencana alam ? Saya tidak yakin akan kebenaran hal itu. Saya fikir, bencana ini salah kita semua. Sejak dahulu kala bencana itu sudah ada. Sejak ribuan tahun lalu murka Tuhan selalu disebabkan oleh perbuatan suatu kaum atau bangsa, bukan karena salah para pemimpin semata. Kitab-kitab suci agama Samawi banyak berkisah tentang ini, semisal kisah nabi Nuh, Luth dan Musa.
Kembali ke bencana kita. Mungkin Tuhan sedang jengkel kepada bangsa ini dan Dia ingin menegur langsung. Kita sering melanggar perintah-perintah-Nya, banyak tindakan kita yang tak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para Rasul-Nya. Kita sering berbuat zolim terhadap orang lain dan diri kita sendiri. Negeri ini sekarang penuh dengan praktek-praktek menghalalkan segala cara. Fitnah, purbasangka dan membuka aib orang lain, sepertinya bukan lagi suatu dosa. Hanya karena SMS dan surat kaleng orang dapat segera masuk “Jel” (bahasa Inggeris-nya Jail), salah atau benar urusan belakang, yang penting masuk dulu.
Mencari-cari kesalahan tampaknya sudah menjadi hobby sebagian dari kita, maling teriak maling sudah menjadi lagu indah. Yang penting, kita untung dan orang lain yang rugi. Kita senang melihat orang lain menderita lahir dan batin, apalagi bila penderitaan itu dapat memberi keuntungan bagi kita. Kita merasa bahagia bila orang lain jatuh, kita tidak pernah perduli kejatuhan itu juga membawa penderitaan kepada seluruh anggota keluarga orang itu. Kita suka sekali menciptakan opini bahwa orang itu baik dan orang ini buruk, kita tak perduli kalau hal itu mengarah pada perbuatan adu domba. Kalau dibuat daftar, sungguh panjang deretan dosa dan salah kita. Itu-lah potret kita saat ini, wajah kita tidak lagi bersih, wajah kita sudah penuh dengan lumpur. Kita sepertinya sudah menjadi kaum yang zolim.

Bengkulu, 28 Mei 2006

(H. Musiardanis)

KEMISKINAN

Dalam suatu kesempatan, saya pernah berbincang-bincang dengan seorang pensiunan pegawai BPS mengenai data statistik. Suatu hal yang menarik dari data statistik yang dikumpulkan oleh BPS beberapa tahun terakhir ini adalah data tentang tingkat pertumbuhan ekonomi dan data tentang jumlah orang miskin. Menurut pensiunan BPS itu, data statistik menunjukkan bahwa ekonomi kita tumbuh memadai, yakni sekitar 6% dan laju pertumbuhan penduduk kita cenderung tetap, sekitar 2%.
Secara teoritik dikatakan bahwa apabila laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk, maka tingkat kesejahteraan ekonomi juga akan meningkat. Namun anehnya, data statistik mengenai jumlah rakyat miskin tidak membuktikan kebenaran teori tersebut. Jumlah orang miskin di republik ini ternyata semakin banyak, meskipun ekonomi tumbuh secara signifikan. Entah di mana letak kesalahannya sehingga teori dan realita tidak sejalan.
Kita tidak usah pusing mencari sumber kesalahan, yang penting kita fikirkan bahwa kue ekonomi kita semakin besar tapi jumlah orang yang kurang memperoleh jatah pembagian kue itu juga semakin bertambah. Fakta yang terpampang di mata kita ini menunjukkan secara gamblang bahwa kesejahteraan sosial-ekonomi di negeri ini semakin timpang. Data itu juga jelas membuktikan bahwa pemerataan pendapatan di negeri ini semakin senjang, masalah inilah yang perlu kita cermati dan kita carikan jalan keluarnya.
Sebentar lagi kita akan memilih Walikota baru, ketimpangan sosial ekonomi seperti yang diuraikan di atas mungkin juga terjadi di kota ini. Para kandidat Walikota/Wakil Walikota hendaknya menyusun visi, misi dan program yang mampu mengatasi permasalahan di atas. Perangi-lah kemiskinan tapi jangan perangi orang miskin ! para kandidat Walikota tidak usah berfikir yang muluk-muluk, sentuhlah domain kemiskinan ini.
Visi, misi dan program mereka hendaknya merengkuh paling tidak tiga indikator kesejahteraan, yang secara simultan akan saling berkait dengan upaya pengentasan mereka dari lingkaran kemiskinan, yakni : pendidikan; kesehatan, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Sudah saatnya kita ber-zakat, infaq dan shadaqah kepada mereka, baik dalam bentuk program pembangunan, maupun dalam bentuk-bentuk lain seperti penyediaan sarana/prasarana infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan umum, serta membuka akses permodalan dan pemasaran. Sekali lagi, perangi-lah kemiskinan tapi jangan perangi orang-orang miskin !

Bengkulu, 13 Agustus 2007.

(H. Musiardanis)

Kamis, 03 Januari 2008

LYSYSTRATA

Shakespeare, seorang pujangga kondang dari negerinya John Mayor, pada abad yang lalu pernah menulis banyak naskah roman yang menjadi legendaris. Dari sekian banyak gubahannya, ada satu naskah yang unik dan dapat dijadikan renungan kita pada masa kini, yaitu Lysystrata. Kisah Lysystrata mengambil setting pada zaman kejayaan kerajaan Romawi kuno. Pada masa Romawi sedang getol-getolnya mengembangkan wilayah kerajaannya. Perang terus berlangsung tanpa henti, tiada hari tanpa perang. Hidup dan matinya kerajaan tergantung pada perang, bukan pada kedamaian.
Perang yang terus dilancarkan akhirnya melahirkan kelompok tidak puas di kalangan rakyat. Celakanya, kelompok tidak puas ini bukanlah para politisi atau kalangan angkatan bersenjata, tapi kaum perempuan, terutama isteri para prajurit yang terus-menerus dikirim ke medan laga. Lebih celaka lagi, yang menjadi pemimpin kelompok adalah permaisuri Kaisar yang bernama Lysystrata. Kelompok ini melancarkan protes, mereka menuntut agar perang segera dihentikan. Kata mereka, perang lebih banyak menimbulkan kerugian di kalangan isteri para prajurit. Mereka selalu ditinggalkan dalam kesepian dan ketakutan. Mereka tidak dapat membesarkan anak-anak mereka secara sempurna tanpa peran ayah di dalam keluarga.
Protes Lysystrata dan kaumnya dianggap sepi, perang jalan terus. Lysystrata dan kaumnya habis kesabarannya. Secara terbuka mereka mengumumkan ke seluruh negeri bahwa seluruh kaum isteri melakukan “mogok sex”. Mereka menolak ketika diajak melakukan hubungan suami-isteri oleh para suami mereka. Kata mereka, para suami telah mendapatkan pengganti kenikmatan sex, berupa darah dan erangan musuh yang tewas.
Gerakan kaum
isteri ini ternyata menimbulkan kegoncangan nasional, para prajurit tak dapat menemui isteri-isteri mereka, pintu-pintu kamar terkunci rapat. Para isteri berkata bahwa mereka mau menerima para suami apabila perang telah diakhiri. Para prajurit mati kutu, dan akhirnya mereka menuntut kaisar agar perang dihentikan. Kaisar terpaksa mengabulkan, tidak hanya karena tuntutan para prajuritnya, tapi terlebih lagi karena kaisar sendiri ditolak oleh Lysystrata, isterinya sendiri.
Dari kisah ini kita dapat melihat bahwa protes atau kritik yang dilakukan secara terbuka, terus-terang disertai dengan argumentasi yang logis dan rasional ternyata dapat membuka mata dan fikiran seorang kaisar yang memiliki kekuasaan mutlak. Sikap Lysystrata juga menunjukkan bahwa ia dan kaumnya bukan kelompok pengecut, yang hanya berani melempar batu sembunyi tangan. Mereka berani mengatakan bahwa “yang itu benar dan yang ini salah” secara terbuka dan tidak munafik. Mereka bertindak dengan identitas jelas dan tidak melalui “surat kaleng atau sms gelap” — yang dapat menimbulkan desas-desus yang tidak berujung-pangkal, menimbulkan situasi saling mencurigai, dan yang paling buruk adalah membuka peluang munculnya fitnah-fitnah baru. Hal ini patut kita contoh, walaupun dengan cara yang mungkin berbeda untuk masa kini.

Bengkulu, 17 November 2007.

(H. Musiardanis)

SINGAPURA

Hampir semua orang di dunia ini kenal Singapura, kota yang punya semboyan The Most Shocking City of the World (Kota yang paling menggetarkan di dunia). Kota ini dikenal sebagai negara pedagang perantara (broker), barang apa-pun di dunia ini mereka jual, memang posisi mereka di Selat Malaka sangat strategis untuk perdagangan. Tak heran kalau negara pulau yang kecil ini menjadi sangat kaya. Dengan kekayaan yang mereka miliki, Singapura mampu “membeli” apa saja di muka bumi, termasuk pertahanan dan keamanan.
Awalnya Singapura merupakan bagian dari negara Persekutuan Tanah Melayu, yang memperoleh kemerdekaan dari Inggeris pada 1958. Namun, pada akhir tahun 1960-an, Singapura melepaskan diri dari Persekutuan Tanah Melayu — yang telah berganti nama menjadi Negara Federasi Malaysia. Mungkin salah satu alasan Singapura membentuk negara sendiri karena sebagian besar penduduk mereka bukan lagi dari ras Melayu, tetapi Cina. Tak aneh, kemudian Singapura menetapkan bahasa Mandarin (Kuo Yu) sebagai bahasa nasional yang utama, di samping bahasa Melayu dan Inggeris.
Sebagai negara dengan jumlah sumberdaya manusia yang kecil, dan letaknya yang terjepit oleh negara-negara Melayu yang besar, merasa kurang nyaman. Mereka-pun kemudian membangun kekuatan angkatan bersenjata dengan bantuan Israel. Mereka memilih Israel sebagai pelatih karena menganggap kondisi Israel yang “terkepung” oleh negara-negara Arab mirip dengan kondisi Singapura. Di samping itu mereka juga membangun teknologi perang mereka secara besar-besaran.
Tampaknya membangun kekuatan militer saja tidak cukup bagi Singapura. Mereka juga berusaha keran membangun ekonomi dan teknologi agar menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Dengan kekuatan uang mereka membeli apa saja dari negara-negara tetangga, misalnya pembelian Indosat. Keterbatasan luas wilayah merupakan kendala tersendiri bagi Singapura untuk mengembangkan kekuatan militer (khususnya Army). Hal ini mereka pecahkan dengan meminjam berbagai kawasan di luar negeri sebagai basis militer mereka.
Nah, saat ini mereka juga berusaha melakukan negosiasi dengan kita, dengan kemasan perjanjian kerjasama pertahanan (DCA). Persoalannya, apa keuntungan yang diperoleh Indonesia seandainya perjanjian ini disepakati ? Paling-paling memperoleh uang sewa pangkalan dan pusat-pusat pelatihan militer, seperti di Baturaja (Sumsel). Dampak lain yang akan kita terima lebih banyak kurang menguntungkan.
Salah satu dampak yang serius adalah kemungkinan tumbuhnya kecurigaan negara-negara “Melayu”, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam, terhadap negara kita. Selain itu, penguasaan kepemilikan Indosat dan adanya kantong-kantong militer Singapura di Indonesia, akan memberikan dampak yang kurang baik dipandang dari sudut intelijen. Yang segera mengemuka adalah wilayah Selat Melaka dan Laut Cina Selatan akan menjadi zona militer, dan ini akan sangat mengganggu aktivitas penerbangan komersial yang masuk dan keluar Indonesia.

Bengkulu, 16 Juli 2007.

(H. Musiardanis)

BENGKULU AND BRITISH

CATATAN SEJARAH
HUBUNGAN ANTARA PROPINSI BENGKULU DAN INGGERIS (1685 - 1825)


Hubungan yang terjalin antara rakyat Propinsi Bengkulu dengan Inggeris sudah berjalan sejak lama, yakni sejak abad abad ke 17. Pada tahun 1682 Kompeni Belanda (VOC) mampu mengungguli the Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah.
Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan faktori dagang di Aceh, namun keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh kekuatiran terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada Bengkulu, ada dua versi catatan sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan pilihan ini, yakni :

1. Menurut buku “Bencoolen : A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 – 1825)”, yang ditulis oleh Alan Harfield (1995), perubahan ini disebabkan adanya surat permintaan dari para penguasa di Bengkulu yang mereka terima dua hari menjelang keberangkatan utusan EIC (Ord dan Cawley) dari Madras menuju Pariaman.

2. Menurut buku “Bengkulu dalam Sejarah”, yang ditulis oleh Firdaus Burhan (1988), perubahan ini disebabkan oleh kesalahan navigasi dalam pelayaran dari Madras menuju Pariaman dan adanya permintaan dari para penguasa Bengkulu setelah utusan EIC tersebut mendarat di Bengkulu.

Terlepas dari adanya perbedaan di atas, sejarah mencatat bahwa Inggeris (EIC) pada akhirnya bercokol di Bengkulu dan rakyat Bengkulu menerima kehadiran mereka. Setibanya mereka di Bengkulu pada tahun 1685, pihak Inggeris disambut oleh petinggi Bengkulu pada masa itu, yakni Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak Inggeris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggeris di Bengkulu adalah Fort York. Sejak saat itu Inggeris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra).
Kehadiran Inggeris di Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggeris meninggalkan Bengkulu. Berakhirnya kehadiran Inggeris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggeris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggeris disebut “the Anglo-Dutch Treaty of 1824", sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai “Traktat London”. Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggeris di Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan Melaka).

PEMBANGUNAN FORT MARLBOROUGH

Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah semakin rapuh dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggeris sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan banyak sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat menunaikan tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712 Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut “Carrang”. Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Collet terletak lebih kurang dua mil dari Fort York (orang Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Usul Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714.
Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggeris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim (1704), Rammilies (1706), Oudenarde (1708) dan Malplaquet (1709). Atas jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar “Duke of Marlborough”. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian dikenal dengan nama “Fort Marlborough”. Pembangunan Fort Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.

PEMAKAMAN INGGERIS DAN MONUMEN THOMAS PARR

Selama 140 tahun berada di Bengkulu, orang-orang Inggeris banyak yang meninggal dunia. Kematian orang-orang Inggeris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit, umumnya malaria dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat Bengkulu. Orang-orang Inggeris yang meninggal di Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak + 709 orang. Apabila diambil angka rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggeris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari orang-orang Inggeris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggeris di Jitra, Bengkulu.
Di Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bagnsa Inggeris dalam zaman kompeni dulu. Monumen ini disebut oleh orang-orang Bengkulu dengan istilah “Kuburan Bulek (kuburan Bulat)”. Nama sebenarnya dari Kuburan Bulek ini adalah Monumen Parr (Parr Monument). Monumen ini dibuat oleh Inggeris untuk mengenang pengalaman pahit bangsa Inggeris karena di tempat itu dikuburkan Residen Inggeris Thomas Parr, bersama-sama dengan seorang asistennya, yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat Bengkulu pada malam tanggal 27 Desember 1807. Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat Bengkulu terhadap kebikasanaan yang ditempuh oleh kekuasaan Inggeris. Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasehat darai para Kepala Adat rakyat Bengkulu.

BUNGA RAFFLESIA ARNOLDI

Sir Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Bengkulu pada tahun 1818. Dia tiba di Bengkulu pada bulan Maret 1818 didampingi oleh isterinya Lady Sophia Raffles dan seorang Kepala Adat Jawa Raden Rana Dipura. Dalam perjalanan dari Inggeris ke Bengkulu, Lady Sophia Raffles melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Charlotte Sophia Tanjung Segara Raffles. Ketika Raffles tiba di Bengkulu dia menemukan Bengkulu yang luluh lantak akibat gempa bumi, oleh karena itu kota Bengkulu disebut dengan istilah “Tanah Mati”. Namun setelah itu, Raffles bersama-sama dengan rakyat Bengkulu membangun dan membangkitkan kembali Kota Bengkulu dari puing-puing Tanah Mati.
Gubernur Raffles bertugas di Bengkulu selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1818 sampai tahun 1824. Selama bertugas di Bengkulu Raffles banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman. Dalam salah satu perjalanannya, Raffles dengan didampingi isteri dan Dr. Arnold (pakar Botani), singgah di Desa Pulau Lebar, Lubuk Tapi (Bengkulu Selatan). Di desa inilah Raffles menemukan bunga yang berukuran sangat besar dan indah. Penduduk setempat menamakan bunga ini Petimun Sikinlili Atau Sirih Hantu. Bunga tersebut kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldy, diambil dari nama Raffles dan Dr. Arnold. Bunga Rafflesia Arnoldi saat ini sudah menjadi simbol Propinsi Bengkulu yang dikenal dengan nama “Bumi Rafflesia”. Bunga Rafflesia pada masa kini masih sering ditemukan di Kawasan Hutan Lindung Rejang Lebong dan Desa Talang Tais di Kecamatan Kaur Utara (Bengkulu Selatan).

Bengkulu, 28 Juni 2000.

(H. MUSIARDANIS)

Disarikan dari :

1. Buku “Bengkulu dalam Sejarah”, oleh Firdaus Burhan (1988)
2. Buku “Bencoolen : A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 - 1825), oleh Alan Harfield (1995).
3. Ensiklopedi Indonesia Buku 6 (1983).

REFORMASI BIROKRASI


Arus reformasi sudah mengalir selama hampir delapan tahun. Kehidupan demokrasi dan wajah dunia politik memang sudah banyak berubah. Perubahan kehidupan demokrasi dan politik tak jarang terasa berjalan tersandung-sandung. Hal ini tak perlu diherankan karena berbagai instrumen penunjang kehidupan demokratis belum banyak ikut berubah, salah satunya adalah birokrasi.
Semua orang mestinya faham, birokrasi di dalam sistem pemerintahan terdiri dari tiga kelompok besar, yakni sipil, militer dan institusi politik (legislatif). Birokrasi pemerintah di dalam sistem yang lebih besar akan menjadi salah satu dari tiga domain kehidupan kenegaraan (pemerintah, swasta dan rakyat). Interaksi ketiga domain akan sangat dipengaruhi oleh kehidupan demokrasi dan kemantapan sistem hukum.
Birokrasi militer sejak dini sudah melakukan reformasi, sekarang kelompok ini tidak lagi memiliki kekuasaan politik. Begitu pula birokrasi pemerintah di jajaran institusi eksekutif, yang pada masa lalu berperan besar dalam menentukan arah jalannya konfigurasi Ipoleksosbudaghankam. Namun di dalam realitas kita bisa melihat dan merasakan, bahwa reformasi birokrasi pemerintah (eksekutif dan legislatif) sangat lambat atau keliru mengambil sikap dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Birokrasi jajaran eksekutif masih berfikir dan berperilaku dengan paradigma lama, di pihak lain birokrasi politik acapkali merasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Hal ini sering menjadi penyebab terjadinya gesekan-gesekan, bahkan benturan, dalam upaya mencapai tujuan bersama, yakni memberikan pelayanan prima kepada pemilik kekuasaan yang sebenarnya (rakyat secara keseluruhan). Kondisi seperti ini menjadi cemoohan dari masyarakat akar rumput, yang cenderung semakin apatis terhadap sepak-terjang birokrasi pemerintahan.
Reformasi birokrasi merupakan kebutuhan yang mendesak. Reformasi ini harus berjalan secara simultan pada dua kubu penentu arah kebijakan publik, yaitu administrator pemerintahan dan politisi legislator. Memang tidak mudah dan jangan diharapkan dapat berlangsung serta-merta, karena reformasi yang perlu dilakukan oleh kedua kubu adalah reformasi kualitas mental dan intelektual. Reformasi terhadap kedua macam kualitas ini akan mendongkrak kualitas profesionalisme birokrasi, yang diharapkan mampu menciptakan aparatur birokrasi yang lebih berorientasi pada kualitas kinerja dan sadar sepenuhnya bahwa hasil yang dicapai akan memberi nilai tambah terhadap peningkatan kualitas kehidupan rakyat. Selain itu, reformasi birokrasi seperti ini akan dapat mendorong terwujudnya pola hubungan ‘Checks and Balances’ antara eksekutif dan legislatif, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi nasional.

Bengkulu, 16 Januari 2006.

(Musiardanis)