ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Sabtu, 01 Maret 2008

MEMILIH PEMIMPIN

Beberapa minggu yang lalu, dalam satu rapat koordinasi di Cimacan (Puncak), terjadi obrolan informal antar peserta rakor. Obrolan itu bukan memperbincangkan bahan-bahan yang dibahas dalam rakor, tapi memperbicangkan soal pemilihan pemimpin, mulai dari kades sampai ke presiden. Obrolan itu menjadi hangat karena memasuki wilayah bahasan yang luas tapi praktikal, mulai dari pendanaan hingga ke masalah tata-cara pemilihan.
Kata seorang teman, pada tahun ini akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan frekwensi yang sangat tinggi, yakni setiap tiga hari sekali, atau lebih kurang 120 kali dalam setahun. Pemilihan ini meliputi Pilgub dan Pilbup/Wakot. Bisa dibayangkan berapa jumlah dana, tenaga dan waktu yang harus dikeluarkan. Pengeluaran itu akan meliputi pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah, para kontestan dan para pemilih sendiri (opportunity costs).
Kata teman yang lain, itu adalah konsekwensi yang harus kita terima karena memilih pemimpin dengan menganut sistem demokrasi liberal, one man one vote. Dengan sistem ini kita harus mempraktekkan pemilihan secara langsung, setiap warganegara, yang telah memenuhi syarat, memiliki hak dalam menentukan dan memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Hal itu mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat oleh siapa-pun.
Kata teman yang lain, yang pernah membaca sejarah Islam zaman para Khalifah, pemilihan pemimpin dengan sistem demokrasi liberal yang diimpor dari Barat tampaknya kurang pas untuk negeri ini. Mungkin cara memilih zaman para khalifah akan lebih cocok diterapkan di negeri ini, tentu dengan beberapa modifikasi yang kreatif. Negeri ini memang bukan negara Islam, dan hal ini tampaknya tidak akan menjadi hambatan karena tidak akan mengganggu umat beragama lainnya.
Kata teman di atas tadi, pemilihan pemimpin di Indonesia sebaik dibagi-bagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat pertama, rakyat yang memiliki hak pilih, memilih secara langsung calon Kepala Desa dan Ketua RT mereka. Dari dulu sudah menjadi budaya bahwa Kades dan Ketua RT itu dipilih langsung oleh rakyatnya. Tingkat kedua, para Kades dan Ketua RT memilih secara langsung para calon Bupati atau Walikota. Di sini para Kades dan Ketua RT memiliki hak memilih para Bupati/Walikota sebagai wakil rakyat yang absyah (legitimate). Tingkat ketiga, para Bupati dan Walikota memilih secara langsung calon Presiden/Wapres sebagai wakil rakyat di daerah masing-masing.
Nah, dengan cara itu biaya, waktu dan tenaga untuk melakukan pemilihan pemimpin dapat ditekan serendah mungkin. Permasalahan sekarang bagaimana dengan pemilihan Gubernur/Wagub? Menurut teman yang sama, Gubernur sebaiknya tidak dipilih, tapi ditunjuk dan diangkat oleh presiden terpilih. Alasannya, gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat di daerah, sebaiknya tidak berstatus otonom. Kedudukan seorang gubernur seharusnya sama dengan para Menteri Kabinet. Sedangkan institusi Wagub bersifar “fakultatif”, bisa ada dan bisa juga tidak, tergantung kebutuhan karena tugas seorang Wagub adalah tugas-tugas yang bersifat internal.

Bengkulu, 25 Februari 2008.

(H. Musiardanis)

Tidak ada komentar: