ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Jumat, 07 Maret 2008

SEANDAINYA SAYA MENTERI

Dalam dunia praktisi jamak terjadi perbedaan antara teori dan praktek sehari-hari. Kata Wilson, Hegel dan Weber, birokrasi itu dimulai dari tingkat Dirjen ke bawah, sedangkan Presiden/Kepala Pemerintahan dan Kepala Daerah adalah politisi. Salah satu ciri Presiden dan Kepala Daerah sebagai politisi adalah mereka dipilih dan diangkat oleh lembaga perwakilan rakyat, yang benar-benar bersifat politis karena terbentuk dari satu proses pemilihan umum. Pada tingkat nasional, Presiden akan menunjuk dan mengangkat para pembantunya yang disebut Menteri. Para menteri ini bukan pejabat karir, meskipun terkadang ada juga yang berasal dari birokrasi, mereka dipilih oleh Presiden biasanya karena pertimbangan-pertimbangan kompetensi, profesionalisme dan kesamaan ideologi politik dengan sang Presiden. Oleh sebab itu, tidak perlu terheran-heran apabila kebanyakan Menteri itu berasal dari partai yang sama dengan Presiden. Latar belakang kehidupan para menteri beserta berbagai pertimbangan tadi dan proses pengangkatannya, yang mutlak menjadi hak Presiden, jelas memberikan status kepada para menteri sebagai politisi --- bukan birokrat, yang untuk sampai ke puncak karir harus melalui jenjang berliku-liku pada layout mesin birokrasi.
Status Presiden/Kepala Pemerintahan, Kepala Daerah dan Menteri sebagai politisi menyebabkan mereka juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan kebijakan partai politik dari mana mereka berasal, termasuk berkampanye dalam pemilihan umum. Kita terbiasa melihat tayangan televisi yang mempertontonkan Mahathir berkampanye untuk Barisan Nasional atau Margaret Thatcher untuk partainya dalam pemilu di negara mereka masing-masing, di sana terdapat kesesuaian antara teori dan praktek. Lain halnya di negeri kita, bak kata pepatah, lain padang lain pula belalangnya, maka di negeri tercinta ini para Menteri (seharusnya juga Presiden dan Kepala Daerah, kalau memang ingin begitu) dilarang berkampanye dalam Pemilu. Di negeri ini memang banyak terjadi kesenjangan antara teori dan politik karena segala sesuatu sering dipolitisir, sehingga batas-batas wilayah politik dan non politik menjadi kabur tidak karu-karuan. Tapi sudahlah, itu tandanya kita baru dalam tahap awal hidup berpolitik secara bebas dan mencoba berdemokrasi yang sebenarnya.
Seandainya saya seorang Menteri dan seandainya pula saya adalah Ketua salah satu partai politik yang akan ikut dalam pemilihan umum, saya tidak perlu uring-uringan dengan adanya perbedaan antara politik teoritis dengan realitas politik tersebut. Saya tidak perlu pula marah-marah karena tidak boleh berkampanye untuk partai saya, saya tidak akan menderita kerugian apa-apa dengan ketentuan itu. Saya akan tetap berkampanye untuk partai saya meskipun saya harus berhenti jadi Menteri. Berhenti sekarang atau nanti sama saja, toch masa jabatan saya tinggal beberapa bulan saja lagi. Kalau partai saya kalah dalam pemilu, kemungkinan saya kembali menjadi menteri sudah tertutup. Tapi apabila partai saya menang dalam pemilu (mungkin karena ada andil saya yang ikut berkampanye), jangankan jabatan menteri, jabatan sebagai Presiden-pun terbuka lebar bagi diri saya, ini adalah salah ciri demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara lain yang lebih maju kehidupan demokrasinya. Pendek kata, singkat cerita, boleh atau tidak boleh berkampanye tidak akan berarti apa-apa bagi saya, it will be nothing to loose dan que sera sera, tunggu saja tanggal mainnya di pentas politik Republik tercinta.

Bengkulu, 03 Maret 2008.

(H. Musiar Danis).

Tidak ada komentar: