ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Jumat, 07 Maret 2008

HADIRIN DIMOHON BERDIRI !

Dalam kegiatan-kegiatan seremonial di negeri ini ada beberapa mata acara yang sudah menjadi tradisi. Dalam acara-acara resmi pemerintah, kegiatan-kegiatan tersebut a.l. berupa menyanyikan lagu kebangsaan, pembacaan teks Pancasila, mengheningkan cipta dan pemukulan gong atau alat lainnya sebagai tanda dimulainya suatu pekerjaan. Sedangkan dalam upacara resepsi perkawinan acaranya lebih sedikit. Suatu hal serupa yang lazim dilakukan, baik dalam acara pemerintah maupun resepsi perkawinan, adalah meminta hadirin untuk berdiri bila pejabat tertinggi atau sepasang mempelai memasuki ruangan.
Dalam aturan protokol resmi kenegaraan, penghormatan yang dilakukan dengan cara berdiri hanya diperuntukkan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Namun pada prakteknya hampir di setiap acara resmi sering dilakukan penghormatan berdiri untuk selain Presiden atau Wakil Presiden, misalnya untuk menteri atau Ketua suatu organisasi. Begitu pula penghormatan berdiri untuk sepasang mempelai. Penghormatan yang diberikan dengan cara berdiri kepada sepasang mempelai mungkin karena kedua mempelai dianggap “Raja dan Permaisuri” pada saat itu.
Dalam satu pengajian di masjid terbesar di kota Bengkulu, seorang ustadz pernah menceritakan satu kisah dalam hadits. Di situ dikisahkan dalam satu waktu Nabi Muhammad SAW sedang duduk berbincang-bincang dengan para sahabat dan dari kejauhan tampak iring-iringan orang mengantarkan jenazah. Ketika iringan jenazah itu mendekat, maka sang Nabi mengajak para sahabat untuk memberikan penghormatan dengan cara berdiri. Sang Nabi mengatakan kita harus menghormati jenazah siapa-pun yang lewat dengan cara berdiri, tidak perduli apakan itu jenazah Muslim, Nasrani atau Yahudi, karena jenazah itu adalah jenazah manusia.
Persoalannya sekarang, apakah cara kita memberikan penghormatan kepada seseorang atau sepasang mempelai dengan cara berdiri adalah cara yang benar ? Apakah cara ini bukannya memberikan penghormatan kepada yang masih hidup, tetapi sebaliknya menganggap seseorang atau sepasang mempelai itu sama dengan “jenazah” yang akan lewat ? Hal ini memang dapat dapat menjadi bahan perdebatan yang tidak akan kunjung selesai. Negara kita memang bukan negara Islam, negara kita ini negara kesatuan dengan ribuan warna kebudayaan yang melahirkan jutaan kearifan setempat (local genus). Penghormatan dengan berdiri mungkin saja bersumber dari budaya kita atau mungkin juga bersumber dari Eropa. Kita sangat lama dijajah oleh bangsa-bangsa dari seberang lautan itu, banyak sekali tradisi mereka masih kita lakukan sampai saat ini.


Bengkulu, 08 Juni 2006.

(H. Musiardanis)

MINYAK MANIS

Istilah minyak manis semakin hari semakin menghilang dari perbendaharaan bahasa masyarakat kita. Sekarang orang lebih merasa akrab dengan istilah minyak goreng. Minyak manis memang sama dengan minyak goreng, keduanya dipergunakan untuk memasak beraneka jenis masakan. Bagi kehidupan manusia minyak manis atau minyak goreng menempati posisi strategis, hampir seluruh umat manusia di dunia ini menggunakan minyak manis sebagai salah satu bahan dalam proses masak-memasak.
Meski minyak manis dan minyak goreng pada dasarnya adalah sama, namun dalam perspektif orang awam kedua barang itu memiliki perbedaan. Perbedaannya terletak pada jenis bahan baku dan proses pembuatannya. Minyak manis dibuat dari kelapa dengan teknologi sederhana dan dapat dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di mana-pun berada, sedangkan minyak goreng dibuat dengan bahan baku utama minyak sawit (CPO) yang menggunakan teknologi lebih tinggi dengan mata-rantai produksi yang lebih panjang.
Akhir-akhir ini harga minyak goreng dirasa semakin mahal dan pasokannya juga kurang mencukupi. Hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat yang jauh dari pusat-pusat perekonomian tempat berkumpulnya para suppliers, misalnya di pulau Enggano. Sungguh mengherankan, seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, negeri ini punya banyak sekali pohon kelapa. Semua musti masih ingat akan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang menggambarkan keindahan dan kekayaan negeri ini, dengan lambaian jutaan pohon-pohon nyiur-nya.
Negeri seperti milik kita ini sering menjadi obyek pembingungan internasional. Negara-negara adidaya sering membuat kita bingung dan keteteran. Dalam hal minyak manis, mereka menyatakan bahwa mereka tidak berminat membeli dari kita kalau itu terbuat dari buah kelapa. Mereka hanya bersedia kalau terbuat dari buah sawit atau jagung. Alasannya bisa bermacam-macam, yang paling menonjol adalah masalah kadar kolesterol yang tinggi dalam minyak kelapa.
Sungguh aneh alasan tentang kolesterol itu. Sejak zaman dulu nenek moyang kita mengkonsumsi minyak manis dari buah kelapa, toh kesehatan mereka sama dengan bangsa-bangsa lain, bahkan tidak sedikit yang berumur panjang. Yang pasti, teknologi dan industri derivasi buah sawit memang dipegang oleh negeri-negeri industri maju itu. Kita terpaksa menjual minyak sawit kepada mereka dan mengimpor sebagian produk jadi minyak sawit juga dari mereka. Dengan situasi seperti ini, kita selalu di pihak yang kalah.
Rakyat negeri yang kaya dengan lambaian pohon-pohon nyiur tidak seharusnya menderita dengan mahalnya harga minyak goreng. Manfaatkanlah buah-buah kelapa yang ada di pulau-pulau kita. Kembalilah kepada kekuatan kita sendiri, buat sendiri minyak manis dari buah kelapa, tak perlu tergantung pada pasokan minyak goreng. Hasil kebun sawit boleh kita jual kepada negeri-negeri maju, uangnya kita pergunakan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan lain.

Bengkulu, 21 Mei 2007.

(H. Musiardanis)

CALON TAK GAYUT

Membaca judul di atas mungkin ada orang yang bingung, bahkan mungkin ada yang berfikir bahwa saya menggunakan bahasa daerah. Dulu ada upaya dari para pakar bahasa Indonesia untuk mengindonesiakan sebanyak mungkin terma-terma sains, khususnya di bidang matematika dan statistika. Kebetulan salah seorang pakar itu berasal dari Bengkulu (Talo, Seluma), yakni Prof. DR. Amran Halim. Tak pelak lagi, banyak kosa kata bahasa Melayu lama dan bahasa Seraway ikut diambil, di antaranya kata ‘Gayut’ dan ‘Tak-Gayut’ yang menjadi padanan kata ‘Dependent’ dan ‘Independent’.
Dalam tulisan ini saya tidak akan berdiskusi tentang bahasa Indonesia, yang saya ingin bahas adalah persoalan calon independent (calon tak-gayut) yang berpeluang maju dalam pilkada melalui jalur independent (jalur tak-gayut). Persoalan “ke tak-gayutan” dalam pemilihan pemimpin ini sudah menjadi wacana sejak lama, mulai dari pemilihan presiden pada 2004 yang lalu sampai pilkada saat ini. Banyak orang merasa bahwa pencalonan harus melalui satu pintu, yaitu pintu Parpol, tidak demokratis dan menutup peluang bagi orang-orang potensial yang kebetulan non partisan dan kurang dikenal di kalangan politisi.
Pendapat di atas mungkin ada benarnya. Idealnya, parpol sudah menyiapkan orang-orangnya, baik yang benar-benar berasal dari partai sendiri atau orang non partisan, untuk dijadikan kandidat kepala daerah. Ambil contoh konvensi yang dilakukan oleh salah satu Parpol besar, seyogyanya parpol itu (minimum setahun sebelumnya) sudah melakukan inventarisasi dan penjaringan tokoh-tokoh yang dianggap pantas menjadi kandidat kepala daerah. Kemudian dilakukan penyaringan sesuai dengan kriteria partai dan meminta kesediaan para calon kandidat untuk ikut dalam konvensi partai. Bagi partai yang tidak melakukan konvensi bisa saja langsung menentukan kandidat terbaik yang sudah terseleksi secara ketat. Dengan cara ini, dapat diharapkan para calon kepala daerah yang diusung parpol benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni.
Persoalannya, parpol saat ini cenderung menunggu pinangan dan bukan meminang calon yang akan diusung. Kalau sudah begini faktor subyektivitas akan sulit dihindari dan jangan kaget apabila muncul para calon “di luar dugaan”. Oleh sebab itu, jalur tak-gayut menjadi penting. Siapa saja yang merasa memiliki kemampuan untuk menjadi kepala daerah tapi tidak punya “perahu”, dapat ikut dalam gebyar pemilihan kepala daerah.
Penyaringan terhadap mereka dilakukan oleh lembaga tak-gayut (misalnya KPU), dengan menggunakan berbagai kriteria dan tolok ukur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Apabila lembaga tak-gayut melakukan seleksi secara ketat dan benar, dan parpol-parpol tetap ngetem menunggu penumpang, jangan heran apabila kualitas para Calon Tak-Gayut akan selalu lebih baik ketimbang kualitas para Calon dari parpol-parpol (bahkan mungkin mereka akan selalu kalah !). Lahirnya Jalur Tak-Gayut diharapkan dapat menjaring sebanyak mungkin calon dengan kualitas standard. Parpol-parpol-pun harus segera berbenah diri dalam memilih calon yang akan diusung, agar tidak selalu menjadi pecundang.

Bengkulu, 30 Juli 2007.


(H. Musiardanis)

AMUBA

Ketika di SMA sekian puluh tahun yang lalu, saya memperoleh pelajaran Ilmu Hayat (sekarang disebut Biologi). Kalau tidak salah ingat, dalam pelajaran ini saya pernah diajarkan mengenai mahluk bersel tunggal yang disebut Amuba. Mahluk ini memiliki cara yang unik untuk berkembang biak. Mereka berkembang biak dengan cara membelah diri karena tidak memiliki alat kelamin, satu sel membelah menjadi dua atau lebih dan membentuk Amuba-Amuba baru. Dengan cara ini mereka mempertahankan kelangsungan hidupnya di alam yang tak pernah kenal kompromi. Bahkan tidak perlu digugat ke pengadilan, apabila mahluk-mahluk seperti ini dapat pula mengubah bentuk fisiknya agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang selalu berubah.
Kenangan masa SMA ini sering mendorong saya untuk berfikir dan mencoba mencari persamaan atau perbedaan antara masa lalu dan masa kini. Saya merasa heran dan takjub melihat adanya kesamaan perilaku Amuba dengan perilaku sebagian masyarakat kita masa kini. Amuba membelah diri untuk berkembang biak dan bertahan hidup, hanya itu cara yang dapat mereka lakukan, dan itu tidak aneh. Yang aneh, banyak kelompok masyarakat kita saat ini melakukan hal yang hampir sama, yakni membelah diri menjadi dua, tiga atau lebih sehingga terbentuklah berbagai kelompok baru yang lebih banyak dan berwarna-warni.
Saya tidak tahu persis apakah proses pembelahan diri ini bertujuan untuk menjadi lebih banyak agar mampu menjadi mayoritas, ataukah karena kelompok yang terdahulu sudah dianggap tidak sesuai lagi dan perlu adanya kelompok baru, ataukah kelompok-kelompok hasil pembelahan diri ini hanya menjadi "kendaraan" bagi para petinggi kelompok untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Alasan yang sebenarnya hanya diketahui oleh kelompok-kelompok itu sendiri. Kita sebagai orang di luar pagar hanya dapat menonton dan sesekali bertepuk tangan, apabila proses pembelahan berlangsung seru dan menarik.
Meski hanya menonton dan bertepuk tangan, alangkah baiknya apabila kita masih tetap punya harapan. Harapan itu tidak terlalu muluk, harapan itu adalah harapan kita semua. Kita berharap, hendaknya pembelahan diri ini jangan betul-betul meniru Amuba. Bila kita seratus persen meniru mereka, maka kita termasuk golongan mahluk yang masih primitif, dan masyarakat Madani yang kita celotehkan di setiap kesempatan hanyalah omong kosong. Apalagi kita juga mengetahui bahwa ada jenis-jenis Amuba yang menjadi biang penyakit, Amuba Disentri misalnya. Kalau ini kita tiru, bersiaplah kita semua untuk sakit perut dan tubuh kita menjadi lumpuh.


Bengkulu, 29 Oktober 2007.

(H. Musiardanis)

SEANDAINYA SAYA MENTERI

Dalam dunia praktisi jamak terjadi perbedaan antara teori dan praktek sehari-hari. Kata Wilson, Hegel dan Weber, birokrasi itu dimulai dari tingkat Dirjen ke bawah, sedangkan Presiden/Kepala Pemerintahan dan Kepala Daerah adalah politisi. Salah satu ciri Presiden dan Kepala Daerah sebagai politisi adalah mereka dipilih dan diangkat oleh lembaga perwakilan rakyat, yang benar-benar bersifat politis karena terbentuk dari satu proses pemilihan umum. Pada tingkat nasional, Presiden akan menunjuk dan mengangkat para pembantunya yang disebut Menteri. Para menteri ini bukan pejabat karir, meskipun terkadang ada juga yang berasal dari birokrasi, mereka dipilih oleh Presiden biasanya karena pertimbangan-pertimbangan kompetensi, profesionalisme dan kesamaan ideologi politik dengan sang Presiden. Oleh sebab itu, tidak perlu terheran-heran apabila kebanyakan Menteri itu berasal dari partai yang sama dengan Presiden. Latar belakang kehidupan para menteri beserta berbagai pertimbangan tadi dan proses pengangkatannya, yang mutlak menjadi hak Presiden, jelas memberikan status kepada para menteri sebagai politisi --- bukan birokrat, yang untuk sampai ke puncak karir harus melalui jenjang berliku-liku pada layout mesin birokrasi.
Status Presiden/Kepala Pemerintahan, Kepala Daerah dan Menteri sebagai politisi menyebabkan mereka juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan kebijakan partai politik dari mana mereka berasal, termasuk berkampanye dalam pemilihan umum. Kita terbiasa melihat tayangan televisi yang mempertontonkan Mahathir berkampanye untuk Barisan Nasional atau Margaret Thatcher untuk partainya dalam pemilu di negara mereka masing-masing, di sana terdapat kesesuaian antara teori dan praktek. Lain halnya di negeri kita, bak kata pepatah, lain padang lain pula belalangnya, maka di negeri tercinta ini para Menteri (seharusnya juga Presiden dan Kepala Daerah, kalau memang ingin begitu) dilarang berkampanye dalam Pemilu. Di negeri ini memang banyak terjadi kesenjangan antara teori dan politik karena segala sesuatu sering dipolitisir, sehingga batas-batas wilayah politik dan non politik menjadi kabur tidak karu-karuan. Tapi sudahlah, itu tandanya kita baru dalam tahap awal hidup berpolitik secara bebas dan mencoba berdemokrasi yang sebenarnya.
Seandainya saya seorang Menteri dan seandainya pula saya adalah Ketua salah satu partai politik yang akan ikut dalam pemilihan umum, saya tidak perlu uring-uringan dengan adanya perbedaan antara politik teoritis dengan realitas politik tersebut. Saya tidak perlu pula marah-marah karena tidak boleh berkampanye untuk partai saya, saya tidak akan menderita kerugian apa-apa dengan ketentuan itu. Saya akan tetap berkampanye untuk partai saya meskipun saya harus berhenti jadi Menteri. Berhenti sekarang atau nanti sama saja, toch masa jabatan saya tinggal beberapa bulan saja lagi. Kalau partai saya kalah dalam pemilu, kemungkinan saya kembali menjadi menteri sudah tertutup. Tapi apabila partai saya menang dalam pemilu (mungkin karena ada andil saya yang ikut berkampanye), jangankan jabatan menteri, jabatan sebagai Presiden-pun terbuka lebar bagi diri saya, ini adalah salah ciri demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara lain yang lebih maju kehidupan demokrasinya. Pendek kata, singkat cerita, boleh atau tidak boleh berkampanye tidak akan berarti apa-apa bagi saya, it will be nothing to loose dan que sera sera, tunggu saja tanggal mainnya di pentas politik Republik tercinta.

Bengkulu, 03 Maret 2008.

(H. Musiar Danis).

Sabtu, 01 Maret 2008

MEMILIH PEMIMPIN

Beberapa minggu yang lalu, dalam satu rapat koordinasi di Cimacan (Puncak), terjadi obrolan informal antar peserta rakor. Obrolan itu bukan memperbincangkan bahan-bahan yang dibahas dalam rakor, tapi memperbicangkan soal pemilihan pemimpin, mulai dari kades sampai ke presiden. Obrolan itu menjadi hangat karena memasuki wilayah bahasan yang luas tapi praktikal, mulai dari pendanaan hingga ke masalah tata-cara pemilihan.
Kata seorang teman, pada tahun ini akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan frekwensi yang sangat tinggi, yakni setiap tiga hari sekali, atau lebih kurang 120 kali dalam setahun. Pemilihan ini meliputi Pilgub dan Pilbup/Wakot. Bisa dibayangkan berapa jumlah dana, tenaga dan waktu yang harus dikeluarkan. Pengeluaran itu akan meliputi pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah, para kontestan dan para pemilih sendiri (opportunity costs).
Kata teman yang lain, itu adalah konsekwensi yang harus kita terima karena memilih pemimpin dengan menganut sistem demokrasi liberal, one man one vote. Dengan sistem ini kita harus mempraktekkan pemilihan secara langsung, setiap warganegara, yang telah memenuhi syarat, memiliki hak dalam menentukan dan memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Hal itu mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat oleh siapa-pun.
Kata teman yang lain, yang pernah membaca sejarah Islam zaman para Khalifah, pemilihan pemimpin dengan sistem demokrasi liberal yang diimpor dari Barat tampaknya kurang pas untuk negeri ini. Mungkin cara memilih zaman para khalifah akan lebih cocok diterapkan di negeri ini, tentu dengan beberapa modifikasi yang kreatif. Negeri ini memang bukan negara Islam, dan hal ini tampaknya tidak akan menjadi hambatan karena tidak akan mengganggu umat beragama lainnya.
Kata teman di atas tadi, pemilihan pemimpin di Indonesia sebaik dibagi-bagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat pertama, rakyat yang memiliki hak pilih, memilih secara langsung calon Kepala Desa dan Ketua RT mereka. Dari dulu sudah menjadi budaya bahwa Kades dan Ketua RT itu dipilih langsung oleh rakyatnya. Tingkat kedua, para Kades dan Ketua RT memilih secara langsung para calon Bupati atau Walikota. Di sini para Kades dan Ketua RT memiliki hak memilih para Bupati/Walikota sebagai wakil rakyat yang absyah (legitimate). Tingkat ketiga, para Bupati dan Walikota memilih secara langsung calon Presiden/Wapres sebagai wakil rakyat di daerah masing-masing.
Nah, dengan cara itu biaya, waktu dan tenaga untuk melakukan pemilihan pemimpin dapat ditekan serendah mungkin. Permasalahan sekarang bagaimana dengan pemilihan Gubernur/Wagub? Menurut teman yang sama, Gubernur sebaiknya tidak dipilih, tapi ditunjuk dan diangkat oleh presiden terpilih. Alasannya, gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat di daerah, sebaiknya tidak berstatus otonom. Kedudukan seorang gubernur seharusnya sama dengan para Menteri Kabinet. Sedangkan institusi Wagub bersifar “fakultatif”, bisa ada dan bisa juga tidak, tergantung kebutuhan karena tugas seorang Wagub adalah tugas-tugas yang bersifat internal.

Bengkulu, 25 Februari 2008.

(H. Musiardanis)