ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Jumat, 07 Maret 2008

CALON TAK GAYUT

Membaca judul di atas mungkin ada orang yang bingung, bahkan mungkin ada yang berfikir bahwa saya menggunakan bahasa daerah. Dulu ada upaya dari para pakar bahasa Indonesia untuk mengindonesiakan sebanyak mungkin terma-terma sains, khususnya di bidang matematika dan statistika. Kebetulan salah seorang pakar itu berasal dari Bengkulu (Talo, Seluma), yakni Prof. DR. Amran Halim. Tak pelak lagi, banyak kosa kata bahasa Melayu lama dan bahasa Seraway ikut diambil, di antaranya kata ‘Gayut’ dan ‘Tak-Gayut’ yang menjadi padanan kata ‘Dependent’ dan ‘Independent’.
Dalam tulisan ini saya tidak akan berdiskusi tentang bahasa Indonesia, yang saya ingin bahas adalah persoalan calon independent (calon tak-gayut) yang berpeluang maju dalam pilkada melalui jalur independent (jalur tak-gayut). Persoalan “ke tak-gayutan” dalam pemilihan pemimpin ini sudah menjadi wacana sejak lama, mulai dari pemilihan presiden pada 2004 yang lalu sampai pilkada saat ini. Banyak orang merasa bahwa pencalonan harus melalui satu pintu, yaitu pintu Parpol, tidak demokratis dan menutup peluang bagi orang-orang potensial yang kebetulan non partisan dan kurang dikenal di kalangan politisi.
Pendapat di atas mungkin ada benarnya. Idealnya, parpol sudah menyiapkan orang-orangnya, baik yang benar-benar berasal dari partai sendiri atau orang non partisan, untuk dijadikan kandidat kepala daerah. Ambil contoh konvensi yang dilakukan oleh salah satu Parpol besar, seyogyanya parpol itu (minimum setahun sebelumnya) sudah melakukan inventarisasi dan penjaringan tokoh-tokoh yang dianggap pantas menjadi kandidat kepala daerah. Kemudian dilakukan penyaringan sesuai dengan kriteria partai dan meminta kesediaan para calon kandidat untuk ikut dalam konvensi partai. Bagi partai yang tidak melakukan konvensi bisa saja langsung menentukan kandidat terbaik yang sudah terseleksi secara ketat. Dengan cara ini, dapat diharapkan para calon kepala daerah yang diusung parpol benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni.
Persoalannya, parpol saat ini cenderung menunggu pinangan dan bukan meminang calon yang akan diusung. Kalau sudah begini faktor subyektivitas akan sulit dihindari dan jangan kaget apabila muncul para calon “di luar dugaan”. Oleh sebab itu, jalur tak-gayut menjadi penting. Siapa saja yang merasa memiliki kemampuan untuk menjadi kepala daerah tapi tidak punya “perahu”, dapat ikut dalam gebyar pemilihan kepala daerah.
Penyaringan terhadap mereka dilakukan oleh lembaga tak-gayut (misalnya KPU), dengan menggunakan berbagai kriteria dan tolok ukur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Apabila lembaga tak-gayut melakukan seleksi secara ketat dan benar, dan parpol-parpol tetap ngetem menunggu penumpang, jangan heran apabila kualitas para Calon Tak-Gayut akan selalu lebih baik ketimbang kualitas para Calon dari parpol-parpol (bahkan mungkin mereka akan selalu kalah !). Lahirnya Jalur Tak-Gayut diharapkan dapat menjaring sebanyak mungkin calon dengan kualitas standard. Parpol-parpol-pun harus segera berbenah diri dalam memilih calon yang akan diusung, agar tidak selalu menjadi pecundang.

Bengkulu, 30 Juli 2007.


(H. Musiardanis)

Tidak ada komentar: