ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Jumat, 04 Januari 2008

TENGGELAMNYA PULAU JAWA

Ketika masih di sekolah menengah, saya pernah membaca sebuah karya monumental Buya Hamka, berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Judul karya sastra itu mengilhami saya untuk menulis tentang pulau Jawa yang sedang dirundung bencana. Mulai dari gempa Yogya, lumpur Porong dan yang terakhir banjir Jakarta (maaf, jangan dibaca Bandar Jakarta). Bencana itu kata orang adalah bencana alam, saya kurang sependapat, menurut saya bencana itu adalah bencana anak manusia. Alam adalah tempat hidup kita, alam adalah rumah kita, dan kita sendiri yang merusak tempat berlindung ini.
Kata ahli geologi, beberapa juta tahun yang lalu Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa dan Kalimantan adalah satu. Banjir semesta sebagai akibat perubahan suhu bumi mengakibatkan ke-empat wilayah itu terpisah-pisah menjadi pulau-pulau. Beberapa juta tahun kemudian, setelah anak cucu Adam dan Hawa semakin berkembang biak, sebagian mereka yang berasal dari Asia Muka berimigrasi ke selatan, menempati pulau Sumatera, Jawa , Kalimantan dan lainnya. Sebagian besar mereka menetap di pulau Jawa, karena pulau itu relatif lebih subur dan alamnya lebih baik untuk kehidupan (lebih subur, relatif datar dan tidak berawa-rawa). Tidak usah heran apabila jumlah penduduk di pulau Jawa jauh lebih padat ketimbang Sumatera dan Kalimantan, sejak awal mereka memang lebih banyak.
Sejak dulu manusia memang tidak memiliki banyak pilihan, hidup mereka banyak tergantung pada kemurahan hati alam. Pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan beban alam untuk memberi kehidupan semakin berat. Di pulau Jawa, sumber kehidupan dasar semakin terbatas, lahan-lahan pertanian dan kawasan-kawasan yang seharusnya dilindungi telah berubah fungsi menjadi pemukiman, pabrik-pabrik dan tumpukan sampah. Alam merintih, menangis dan akhirnya berteriak marah, bencana-pun datang silih berganti. Sebagian kawasan di Pulau Jawa semakin rendah dari permukaan laut. Pulau Jawa hampir tenggelam.
Bencana Jawa harus menyadarkan kita, alam-pun bisa marah kalau dizolimi. Kita di Bengkulu lebih beruntung, kita masih kaya dengan kawasan lindung. Secara ekonomis kondisi ini mungkin kurang menguntungkan. Kita perlu mencari jalan terbaik agar kehidupan kita dapat terus berlanjut, tanpa harus berlaku zolim terhadap alam. Memelihara alam mungkin akan menjadi amal jariah, merusak alam akan menghasilkan dosa berkepanjangan. Kita patut bersedih dan prihatin dengan nasib pulau Jawa. Kita patut berdo’a agar seratus tahun yang akan datang, anak-anak sekolah menengah tidak pernah kenal dengan karya sastra yang berjudul “Tenggelamnya Pulau Jawa”.

Bengkulu, 08 Februari 2007.
(H. Musiardanis)

Tidak ada komentar: