ASSALAMU'ALAIKUM

SELAMAT DATANG KE RUMAH SAYA.

WELCOME TO MY HOUSE

Kamis, 03 Januari 2008

LYSYSTRATA

Shakespeare, seorang pujangga kondang dari negerinya John Mayor, pada abad yang lalu pernah menulis banyak naskah roman yang menjadi legendaris. Dari sekian banyak gubahannya, ada satu naskah yang unik dan dapat dijadikan renungan kita pada masa kini, yaitu Lysystrata. Kisah Lysystrata mengambil setting pada zaman kejayaan kerajaan Romawi kuno. Pada masa Romawi sedang getol-getolnya mengembangkan wilayah kerajaannya. Perang terus berlangsung tanpa henti, tiada hari tanpa perang. Hidup dan matinya kerajaan tergantung pada perang, bukan pada kedamaian.
Perang yang terus dilancarkan akhirnya melahirkan kelompok tidak puas di kalangan rakyat. Celakanya, kelompok tidak puas ini bukanlah para politisi atau kalangan angkatan bersenjata, tapi kaum perempuan, terutama isteri para prajurit yang terus-menerus dikirim ke medan laga. Lebih celaka lagi, yang menjadi pemimpin kelompok adalah permaisuri Kaisar yang bernama Lysystrata. Kelompok ini melancarkan protes, mereka menuntut agar perang segera dihentikan. Kata mereka, perang lebih banyak menimbulkan kerugian di kalangan isteri para prajurit. Mereka selalu ditinggalkan dalam kesepian dan ketakutan. Mereka tidak dapat membesarkan anak-anak mereka secara sempurna tanpa peran ayah di dalam keluarga.
Protes Lysystrata dan kaumnya dianggap sepi, perang jalan terus. Lysystrata dan kaumnya habis kesabarannya. Secara terbuka mereka mengumumkan ke seluruh negeri bahwa seluruh kaum isteri melakukan “mogok sex”. Mereka menolak ketika diajak melakukan hubungan suami-isteri oleh para suami mereka. Kata mereka, para suami telah mendapatkan pengganti kenikmatan sex, berupa darah dan erangan musuh yang tewas.
Gerakan kaum
isteri ini ternyata menimbulkan kegoncangan nasional, para prajurit tak dapat menemui isteri-isteri mereka, pintu-pintu kamar terkunci rapat. Para isteri berkata bahwa mereka mau menerima para suami apabila perang telah diakhiri. Para prajurit mati kutu, dan akhirnya mereka menuntut kaisar agar perang dihentikan. Kaisar terpaksa mengabulkan, tidak hanya karena tuntutan para prajuritnya, tapi terlebih lagi karena kaisar sendiri ditolak oleh Lysystrata, isterinya sendiri.
Dari kisah ini kita dapat melihat bahwa protes atau kritik yang dilakukan secara terbuka, terus-terang disertai dengan argumentasi yang logis dan rasional ternyata dapat membuka mata dan fikiran seorang kaisar yang memiliki kekuasaan mutlak. Sikap Lysystrata juga menunjukkan bahwa ia dan kaumnya bukan kelompok pengecut, yang hanya berani melempar batu sembunyi tangan. Mereka berani mengatakan bahwa “yang itu benar dan yang ini salah” secara terbuka dan tidak munafik. Mereka bertindak dengan identitas jelas dan tidak melalui “surat kaleng atau sms gelap” — yang dapat menimbulkan desas-desus yang tidak berujung-pangkal, menimbulkan situasi saling mencurigai, dan yang paling buruk adalah membuka peluang munculnya fitnah-fitnah baru. Hal ini patut kita contoh, walaupun dengan cara yang mungkin berbeda untuk masa kini.

Bengkulu, 17 November 2007.

(H. Musiardanis)

Tidak ada komentar: